Sabtu, 31 Agustus 2013

Transkrip “Perbincangan” Cheryl Tanzil (Metro TV) dan Rizal Ramli: “Susah Payah……”

 

Jakarta, [RR1online]:
SIAPA bilang ekonomi di negeri ini baik-baik saja? Saat ini nilai Rupiah bahkan loyo dan jatuh, seakan tak bisa bangkit. Pemerintah malah seakan tak bisa berbuat banyak menghadapi situasi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini. Sehingga, tak salah jika banyak pihak mengaku prihatin dengan kondisi tersebut.

Dan, ini pula yang membuat MetroTV merasa perlu untuk menghadirkan ekonom senior DR. Rizal Ramli sebagai salah satu narasumber dalam acara Prime-time News. Acara yang dipandu oleh penyiar Metro TV Cheryl Tanzil ini disiarkan secara live, mengangkat tema:  “Susah Payah Mendongkrak Rupiah”, digelar di Bundaran HI Jakarta, Kamis malam (28/8/2013).

Berikut ini adalah transkrip yang memuat pernyataan dan pandangan-pandangan khusus dari DR. Rizal Ramli (RR) :

MetroTV: Saat ini saya bersama tiga narasumber di sekitar bundaran HI Jakarta, dari paling kiri ada wakil ketua Komisi XI DPR Harry Ahar Aziz, ekonom senior pak Rizal Ramli dan ekonom lain pak Agustinus Prasetyantoko.
MetroTV: Bagaimana pandangan pak Rizal yang berada di luar legislatif dan eksekutif mendengar paparan pak Harry?
RR: Sebetulnya ekonomi Indonesia sekarang sudah lampu kuning karena terjadi empat defisit atau Quattro deficit. Satu, defisit neraca perdagangan yang biasanya surplus 30 Milyar Dolar, dua puluh sekian Milyar Dolar, tahun ini minus 6 sampai 7 Milyar Dolar. Yang kedua yang lebih berbahaya, adalah defisit transaksi berjalan atau current account. Yang ini minus sembilan koma delapan Milyar Dolar. Selain itu ada jatuh tempo utang swasta bulan September sebesar 27 Milyar Dolar. Kemudian ada defisit neraca pembayaran dan defisit anggaran yang mungkin lebih besar. Quattro deficit ini terutama transaksi berjalan, saya mohon maaf, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kecil hubungannya dengan pengurangan current account. Sebagai akibat ini maka tekanan terhadap Rupiah akan berlanjut. Saya pikir mudah sekali buat Rupiah anjlok ke 12.000 atau 13.000. On top daripada ini ada yang jauh lebih berbahaya yaitu krisis kepercayaan atau deficit in trust and credibility, defisit di kepercayaan dan kredibilitas karena pemerintah nggak dianggap mampu melihat antisipasi masalah dan menyelesaikan masalah.

MetroTV:  Pak Rizal bagaimana, ada yang ingin ditambahkan?
RR: Jadi yang dikatakan lebih bagus, adalah pertumbuhan ekonomi GDP. Tapi semua indikator finansial itu negatif. Dan seperti dikatakan mas Pras tadi, tahun 2008 ada gejolak besar, ekonomi Amerika anjlok tapi indikator perekonomian kita positif. Sekarang semuanya negatif. Pertanyaannya, ini kan tidak terjadi dalam waktu semalam atau satu minggu. Ini pelan-pelan menggerogori terus selama dua tahun terakhir. Pertanyaan saya, kemana presiden? Kemana menteri-menteri ekonomi? Kok tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan?
Kita sudah mendekati lampu merah karena ada factor terhadap defisit kepercayaan dan kredibilitas. Menurut saya paket-paket inipun tidak menyentuh persoalan. Jangan lupa rakyat kita sudah kena kenaikan harga ronde pertama : kenaikan BBM dan lebaran. Sekarang rakyat kita kena ronde dua, karena Rupiahnya anjlok 15-20 persen, maka pangan, kedelai, jagung, semua akan ikut naik 15-20 persen. Kasihan rakyat kita dua kali kena gebuk sementara pemerintah tidak fokus. Saya berikan contoh, tiga bulan yang lalu saya datangi kepala Bulog, datangi menteri perdagangan,  minta dihapuskan sistem kartel agar harga-harga pangan turun karena harga kedelai di Indonesia lebih mahal dari luar negeri. Harga gula dua kali. Agar harga pangan turun rakyat bisa lebih tenang karena kalau nilai tukar yang kena yang gede-gede, orang bisnis. Tapi langkah inipun tidak ada dalam paket yang dilakukan pemerintah.

MetroTV: Pak Rizal, Gerakan Cinta Rupiah, anda setuju ini bisa mendongkrak sentimen positif?
RR: Saya setuju tapi harus dimulai dari istana, dari keluarga istana mulai tukarkan Rupiah nya. Jadi kasih contoh pada elit yang lain. Tapi yang paling penting sampai Desember Current account deficit itu harus berkurang setengahnya. Kalau sekarang minus 9,8 Milyar Dolar, akhir tahun bisa menjadi 5 Milyar Dolar defisitnya, baru orang percaya ini kredibel. Tolong baca pernyataan pejabat selama ini, “Impor nggak apa-apa karena kapital kuat”. Saya mohon maaf para pejabat ini kurang teliti, karena yang dimaksud impor capital good itu impor barang-barang spare part otomotif. Kebanyakan buat mobil sedan. Jadi mereka sendiri dibutakan karena tidak teliti menganggap capital good impor itu betul-betul barang modal. Padahal sebagian besar tidak. Harus ada perubahan besar tarif dan kebijakan didalam impor barang-barang konsumtif termasuk komponen spare part mobil. Yang kedua tentu harus ada kebijakan didalam repatriasi dari penerimaan ekspor.

MetroTV: Pak Rizal, apa ide anda supaya dalam kurun waktu singkat Rupiah kembali ke level yang secara psikologis aman?
RR: Sebetulnya kalau berani itu partial capital control seperti yang dilakukan Mahathir pada waktu krisis 98 sehingga Malaysia nggak kena krisis sama sekali. Aliran modal keluar itu dikontrol. Tetapi apa yang disarankan pak Harry itu bagus sekali, artinya export revenue harus masuk kedalam sistem perbankan kita. Yang kedua harus ada kebijakan impor yang lebih agresif untuk mengurangi impor. Dan menurut saya itu bisa dilakukan sehingga defisit transaksi berjalan bisa kurang setengahnya menjadi hanya minus 5 Milyar Dolar. Yang ketiga dan yang paling penting, karena yang kena rakyat biasa yang nggak ngerti apa-apa, kartel didalam bidang pangan harus dihapuskan, diganti dengan system tarif sehingga harga pangan malah turun bukannya naik dengan Dolar. Yang kedua, saya juga memang nggak paham, SBY mendapat gelar doktor dari IPB dalam bidang pertanian, tetapi malah pertaniannya paling hancur, budget ke sektor pertanian berkurang, kita memang harus meningkatkan produksi didalam negeri didalam bidang pangan.

MetroTV: Pak Rizal, wajar tidak kalau eksekutif ditanya asumsi-asumsi seperti ini tidak bisa menjawab?
RR: Saya memang kuatir nggak banyak yang pintar menghitung. Kalau ada yang mengaku ekonom tidak bisa menghitung dan tidak bisa meramalkan apa yang terjadi satu tahun kedepan, nggak usah mengaku ekonom. Salah satu ciri ekonom adalah harus bisa meramalkan apa yang terjadi. Makanya saya kaget, ini quattro deficit sudah terjadi selama dua tahun terakhir, kok tidak ada antisipasi, tidak diambil langkah-langkah, kok telmi kita. Cuma kalau pemerintahnya telmi, kasihan rakyatnya yang nggak mengerti apa-apa tiba-tiba perusahaan tahu tempe harus bangkrut, rakyat biasa harus menganggur. Telmi itu telat mikir

MetroTV: Kemaren ada nota keuangan dan diprediksi Dolar masih 9.700. Ini sudah jauh sekali
RR: Begitu pidato, besoknya di pasar modal panik karena angka-angka itu nggak dipercaya. Indeks jatuh, Rupiah malah mendekati 11.000
Ini berbahaya sekali, kelihatan di pemerintah sendiri presiden punya angka, menteri keuangan punya angka. Itu malah bikin bingung kalangan pengusaha, kalangan orang yang dikuasa uang, pasar modal, apa-apaan ini!

MetroTV: Dari pasar modal sendiri ada beberapa statemen dari analis sekuritas yang menyatakan “Pernyataan gubernur BI dan menteri keuangan justru membuat resah pasar”. Anda setuju?
RR: Saya kira karena itu tadi, tidak ada konsistensi dari angka, tidak ada the big plan roadmap bagaimana cara mengurangi current account. Tidak aneh Rupiah anjlok 12.000-13.000 itu hanya soal waktu.

MetroTV: Hari ini di pasar spot sudah sampai 11.350, pak Rizal?
RR: Saya kira itu hanya soal waktu karena fundamental ini nggak kelihatan. Kalau pemerintah ambil agresif perubahan didalam import policy, orang tahu karena current account akan berkurang. Pemerintah ambil langkah repatriasi akan berkurang. Dan kalau pemerintah bubarkan sistem kartel, diganti sistem tarif, ini harga-harga bakal turun lagi. Selama rakyat happy, walaupun terjadi gejolak financial, nggak ada masalah. Tapi kalau ada gejolak finansial dan rakyat nggak suka, harga pangan naik, ya bisa terjadi perubahan. Saya ingat tahun 1998 diwawancara nggak habis-habis oleh puluhan TV internasional diatas hotel Mandarin, nilai Rupiah sudah mendekati 16.000 – 17.000.
Saat Harry Ahar Aziz usai menjawab pertanyaan Metro tentang seberapa sulit kita mendorong pemerintah menjalankan kebijakan tepat guna dalam jangka pendek ini untuk menyelamatkan sentimen? RR menambahkan:
RR: Jadi dilemanya di Indonesia begini, orang yang mengerti makro disuruh mengurusi mikro. Orang yang mengerti mikro disuruh mengurusi makro. Sehingga dia tidak bisa baca ada perubahan fundamental, apa yang harus diambil karena terbalik-balik
Metro  Baik terima kasih bapak-bapak sudah hadir di “Prime Time News”, semoga aspirasi kita juga didengar oleh para pemangku kebijakan.(pru-map/ams)

Maaf.. “Hasil” Pertumbuhan Ekonomi Cuma Dinikmati Kelas Atas


Jakarta [RR1online]:
SEJAUH ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dirasa tidaklah merata. Di sisi lain, apabila pemerintah saat ini berkali-kali mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, maka ini mungkin tidaklah keliru. Ekonomi Indonesia pada kuartal II-2013 ini tumbuh menjadi sekitar 5,8 persen.

Para pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dinikmati oleh kalangan atas alias orang kaya. Dan ini terlihat dari tidak adanya perubahan signifikan jumlah kemiskinan dan pengangguran di negeri ini, bahkan kesannya semakin bertambah.

INDEF mencatat, kini jumlah pengangguran di Indonesia mencapai sekitar 7,24 juta orang, jumlah penduduk miskin berkisar 29,13 juta orang. Gambaran ini menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi memang hanya tertuju kepada eksklusif yang didorong dan dinikmati golongan tertentu. Tentang stabilitas makro, nampaknya juga tak cukup menjawab permasalahan di kalangan masyarakat, khususnya masalah kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran.

Sehingga itu, pemerintah tentulah amat keliru jika mengatakan pertumbuhan ekonomi saat ini telah baik dan merata. Sebab kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini,  nampak sekali, hanya dinikmati oleh “kelompok” yang itu-itu saja, yakni mereka yang berada di level atas, dan bukan rakyat yang berada di level bawah yang hingga saat ini masih tetap “menganga” sambil hanya bisa telan-telan ludah.

Sehingga mantan Menteri Perekonomian, Rizal Ramli yang dimintai tanggapannya seputar pertumbuhan ekonomi tersebut mengingatkan, bahwa pemerintah jangan pura-pura bangga dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini tumbuh sekitar 5 persen. Karena maaf, lanjut Rizal, yang 5 persen lebih itu adalah hanya dinikmati oleh kalangan kelas atas.

“Di Indonesia, mereka inilah (kalangan level atas) yang semakin makmur dan kaya. Bahkan 2,5 persennya sangat luar biasa kaya-nya. Sementara, terdapat 80 persen lebih rakyat Indonesia dari sisi kesejahteraan masih bermasalah. Daya beli masyarakat semakin merosot karena banyaknya pengangguran dan harga pangan yang kini meloncat luar biasa tingginya,” jelas Rizal Ramli yang dikenal sebagai ekonom senior itu.

Sehingga itu, Rizal Ramli membenarkan bahwa kondisi saat ini memang benar si kaya makin kaya, dan si miskin makin miskin. Bahkan dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, maka tak sedikit orang kaya yang harus siap-siap jadi miskin. Jika orang miskin, katanya, yang mendadak jadi orang kaya itu sangat jarang terjadi. Apalagi jika dihubungkan dengan kondisi ekonomi saat ini yang memang sedang berantakan, maka sangat tidak mungkin orang miskin bisa tiba-tiba menjadi kaya.

Penasehat Ekonomi PBB ini juga mengungkapkan, bahwa jika menggunakan index pembangunan manusia (human development index) yang dikeluarkan oleh PBB, menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan Indonesia paling rendah di Asean, berada di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Rizal Ramli yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan ini menambahkan, kondisi ekonomi Indonesia yang makin terlihat memburuk seperti saat ini, tentu memaksa semua pihak untuk mengingatkan pemerintah agar segera mengambil langkah-langkah tepat. Pemerintah hendaknya jangan Cuma banyak berteori dan curhat-curhatan saja. Dan pemerintah jika dikritik, malah balas mengkritik, lalu tak jarang menyalahkan pihak-pihak lain. “Kalau tak mau dikritik, jangan jadi pemerintah!” tegas Rizal Ramli, mantan aktivis mahasiswa yang sejak era Orba sempat di penjara karena menentang rezim Soeharto agar segera turun dari kekuasaannya.(map/ams)

Jumat, 30 Agustus 2013

Ekonomi Bangsa Saat Ini: Ihi..hihii.. Uhu..huhuu..(Menangis)

(Kategori: Opini*)

Jakarta, [RR1online]:
MENJELANG
akhir jabatan Presiden SBY, wajah ekonomi Indonesia bukannya cerah dan membaik. Saat ini ekonomi Indonesia malah makin payah dan amat berantakan, nilai rupiah saat ini bahkan kian melemah. Belum lagi dengan masalah utang Indonesia yang amat besar, yakni mencapai Rp.2.100 Triliun.

Pengelolaan ekonomi dan keuangan negara bahkan mengalami defisit. Defisit yang dimaksud, menurut Ekonom Senior Rizal Ramli, adalah defisit quatro, yakni meliputi:
1. Defisit Neraca Perdagangan (minus) 6 Miliar Dolar AS;
2. Defisit Neraca Berjalan (minus) 9,8 Miliar Dolar AS;
3. Defisit Neraca Pembayaran (minus) 6,6 Miliar Dolar AS.

Jika kondisi buruk ini tak segera dibenahi, maka Indonesia akan mengalami krisis moneter yang bisa lebih parah dibanding 1998 silam. Pertanyaannya, mampukah pemerintah membenahinya dalam waktu yang tak begitu lama?

Apabila beberapa bulan ke depan ekonomi semakin gawat, maka dipastikan tatanan kehidupan ekonomi rakyat akan babak-belur dan ambruk dihantam krisis moneter, sekaligus pada saat bersamaan hilanglah kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Pertanyaannya, pemerintah yang sedang memimpin saat ini apakah betul-betul mengerti dengan masalah-masalah ekonomi? Jangan-jangan menteri-menteri yang ditunjuk menangani soal ekonomi itu hanya bisa ngomong, tetapi tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan ekonomi bangsa?

Maaf..pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus saya ungkapkan, bukan bermaksud untuk menjatuhkan pemerintah saat ini. Sebab saya tak punya kekuatan untuk menjatuhkan siapa-siapa, apalagi pemerintah yang dipimpin seorang militer yang bertubuh tinggi besar seperti SBY, jadi tak perlu saya diperhitungkan.

Hanya saja saya bingung, kenapa pemerintah yang diberi amanah 2 periode ini, tetapi sejak start hingga jelang ending malah membuat rakyat miskin makin menangis dan meratapi nasibnya yang juga tak kunjung membaik. Itu yang pertama.

Yang kedua, kebingungan saya adalah, mengapa pemerintah terlambat mengambil langkah-langkah antisipasi agar nilai rupiah tidak jatuh? Jatuhnya kan tidak langsung dan tidak tiba-tiba, karena sebelum jatuh tentu diawali dulu dengan gejala atau indikator-indikator yang ada. Apakah pemerintah tidak bisa membaca dan melihat gejala-gejala itu? Untunglah negara ini bukan sebuah mobil yang dikemudikan oleh sopir yang tak jeli melihat (tak bisa membaca gejala) bahwa ternyata di depan terdapat jurang.

Akibatnya, lihat saja kondisi saat ini. Sungguh memprihatinkan! Bagi pejabat negara seperti: presiden, menteri-menteri, kepala daerah, hingga pejabat BUMN bersama PNS eselon 1 dan 3, serta pengusaha kelas menengah ke atas “plat merah” memang tak perlu prihatin dengan kesulitan ekonomi saat ini. Tetapi bagi mereka yang tidak termasuk seperti yang saya katakan di atas, tentunya sedang mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa. Yakni mereka para pegawai tidak tetap (honorer), buruh kasar musiman, cleaning-service, petani penggarap, nelayan yang tak punya perahu, tukang cukur dan pedagang asongan keliling, penjual bensin eceran, tukang jahit sepatu, pengamen dan pemulung, abang bentor (becak n motor), hingga para pensiunan pegawai rendahan.

Ihi..hihii.. Uhu..huhuu..?! Ya… Mereka saat ini hanya bisa menangis dan menjerit. Tahu dan tempe yang biasanya mereka jadikan “penambal” perut bersama keluarga sekaligus sebagai menu favorit harian, kini sangat sulit mereka beli karena harganya pun harus naik sebagai salah satu dampak melemahnya rupiah. Sehingga, bukan hanya konsumen ini yang terancam “mogok makan” tahu-tempe, produsen tempe dan tahu pun banyak yang terancam (bahkan sudah ada) mogok usaha, karena melonjaknya harga kedelai tak bisa diimbangi dengan harga penjualan. Ini yang ketiga yang membuat saya bingung: bahwa kita memiliki seorang presiden yang punya gelar doktor di bidang pertanian dan juga punya Menteri Pertanian tetapi mengapa kita malah masih impor kedelai 60 persen..?

Ini baru persoalan kedelai ke tahu dan tempe loh?! Belum persoalan pengemis dan anak terlantar (ditelantarkan) di/oleh negara. Juga belum lagi masalah korupsi yang hingga saat ini masih sangat sulit diatasi, yang jelas-jelas juga sangat membingungkan?! Karena di saat negara ini masih memiliki banyak orang miskin, dan masih memiliki banyak utang, tetapi koq para pejabatnya malah berlomba-lomba melakukan korupsi lalu tak malu dan merasa tak berdosa memamerkan diri dengan membeli rumah dan mobil mewah?

Ini pula membuat hati rakyat berekonomi lemah (miskin) merasa terkoyak-koyak, perih dan tersakiti, susah tidur terlelap karena memikirkan betapa sulitnya mendapat selembar rupiah hanya untuk membeli tahu dan tempe buat keluarga, hingga mereka hanya mampu Ihi..hihii.. Uhu..huhuu.. Namun di saat bersamaan, para pejabat korup malah begitu pulasnya tertidur di ruang ber-AC di atas kasur yang empuk, lalu bangun dengan hati riang sambil : Huwaaahahahaaaaaaa….
----------
*Penulis: Abdul Muis Syam, adalah Ketua Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia-Provinsi Gorontalo

Rabu, 21 Agustus 2013

Ada “Bom Waktu” yang Siap Menghantam Indonesia. Serius..!?


Jakarta [RR1online]:
SEPANJANG
tahun ini, pelemahan nilai tukar rupiah tak kunjung berhenti. Per Selasa kemarin (20/8/2013), nilai Rupiah sudah melemas,  kurs tengah Rp.10.557 per-dolar AS. Dan nilai ini diyakini membuat cadangan devisa di Bank Indonesia bisa terus tergerus. Dan kalaupun ada langkah perbaikan neraca perdagangan yang dilakukan namun tak efektif, maka rupiah dipastikan akan terus jeblok terkapar. Sehingga tak salah jika kondisi ekonomi seperti ini dapat segera diwaspadai oleh masyarakat Indonesia.

‘’Hampir bisa dipastikan, tinggal menunggu waktu saja rupiah akan menyentuh pada level Rp.11.000 per dolar AS,” lontar Rizal Ramli selaku tokoh nasional yang namanya telah mendunia selaku Ekonom Senior, Rabu malam (21/8/2013).

Alasannya, kata Rizal, selain karena pasar sangat kecewa terhadap pidato SBY yang sangat tidak realistis dan tidak memberikan jawaban tentang apa yang harus dilakukan agar indikator-indikator ekonomi makro bisa diselesaikan, juga ada beberapa faktor yang membuat posisi rupiah terus anjlok. Antara lain terjadi defisit quatro, yakni neraca perdagangan -6 miliar dolar AS, defisit neraca berjalan -9 miliar dolar AS, defisit neraca pembayaran (N/P) -6,6 miliar dolar AS. Tak heran jika defisit APBN pun makin melebar karena diperparah pula dengan penerimaan pajak semester I 2013 yang tidak sesuai target. ‘’Anjloknya rupiah membuat impor BBM makin tinggi, sehingga membebani APBN,’’ katanya.

Kondisi beban ini, kata Rizal, makin bertambah berat karena ada utang swasta sekitar 27 miliar dolar AS yang jatuh tempo. Dampak anjloknya rupiah ini juga akan merembes ke semua sektor, termasuk kemungkinan naiknya harga kebutuhan pokok masyarakat yang sumbernya lebih banyak berasal dari impor. Sehingga, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini memprediksi akan ada ronde kedua kenaikan harga pangan. “Sebelum lebaran kemarin sudah naik. Dan beberapa minggu pasca-lebaran ini bisa naik lagi. Dan tentulah, hal ini benar-benar memukul ekonomi rumah tangga sebagian besar rakyat Indonesia,’’ ujarnya.

Kondisi moneter saat ini, katanya, berbeda dengan situasi ekonomi Indonesia pada 2008. Kala itu, fundamental ekonomi Indonesia sangat bagus yang ditandai dengan kondisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang sempat surplus, sehingga dampak resesi ekonomi AS tak berpengaruh buat Indonesia kala itu.

Saat ini, lanjut Rizal Ramli, beberapa indikator makro ekonomi juga semakin negatif. “Jika tidak hati-hati, maka bisa meningkatkan ketidakstabilan ekonomi, dan membuat ekonomi kita memasuki lampu merah. Ini masalah serius. Itulah bom waktu dari neoliberalisme era SBY ini,” ujar Rizal Ramli seraya mengaku bingung: bahwa apa saja selama ini yang dilakukan oleh pemerintah? Apakah pemerintah tidak mampu membaca gejala terjadinya pembekakan defisit di dua tahun lalu sehingga sampai hari ini tak jua ada langkah-langkah untuk melakukan upaya antisipatif?

Sehingga tak keliru jika seorang Dosen Fisip Universitas Airlangga, Eddy Herry, spontan melakukan “Sebuah Seruan moral untuk Indonesia” (via SMS). “Seruan untuk Indonesia: Kinerja ekonomi Pemerintah, kacau! SELAMATKAN INDONESIA pilih RIZAL RAMLI (Ekonom kelas dunia/Penasehat PBB sebagai NEXT PRESIDEN RI,” demikian isi SMS Eddy Herry yang kini juga selaku Direktur Pusat Kajian Transformasi Sosial (PsaTS) di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unair.

Sementara itu, menurut anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta, kondisi ekonomi Indonesia yang buruk saat ini merupakan data riil yang menggambarkan kegagalan pemerintah. “Kegagalan menggenjot produktivitas nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih saja bertumpu pada konsumsi,” ujar Arif Budimanta, seperti yang dilansir oleh bisnis kompas.com.

Senin, 12 Agustus 2013

Indonesia, “Bukan Lagi Milik Beta”


Jakarta, [RR1online]:
INDONESIA adalah negara dengan kekayaan alam yang sangat besar dan melimpah. Di sanalah tempat lahir beta, menyimpan banyak sumber mineral, energi, perkebunan, hasil hutan dan hasil laut yang sungguh amat melimpah.
Di bidang pertambangan:
1. Peringkat 6 cadangan Emas;
2. Nomor 5 dalam produksi Tembaga;
3. Urutan 5 dalam produksi Bauksit;
4. Penghasil Timah terbesar di dunia setelah Cina;
5. Produsen Nikel terbesar kedua di dunia;
6. Tambang Grasberg Papua adalah tambang terbesar di dunia
7. Kesimpulannya, Indonesia berada dalam urutan teratas dalam hal bahan mentah (Raw Material)

Negara ini juga adalah produsen sumber energi terbesar :
1. Berada pada urutan nomor 2 eksportir Batubara di dunia setelah Australia;
2. Eksportir Gas Alam bersih LNG (Liquefied Natural Gas) terbesar di dunia, seperempatnya dikirim ke Singapura;
3. Eksportir terbesar Gas Alam Cair setelah Qatar dan Malaysia.
Dalam hal komoditi perkebunan:
1. Indonesia berada pada nomor 1 dalam produksi CPO (Crude Palm Oil);
2. Produsen Karet terbesar di dunia;
3. Urutan 3 dalam hal produksi Kakao;
4. Merupakan produsen Kopi terbesar di dunia bersama Vietnam dan Brazil.

Dan masih banyak lagi kekayaan alam yang Indonesia miliki, yang akibatnya menjadi sasaran utama investasi Internasional dalam rangka memburu bahan mentah. Umumnya investasi internasional berasal dari negara-negara industri maju. Tujuan utama investasi internasional di Indonesia ini tidak lain adalah untuk mengeruk bahan mentah yang menjadi kekayaan milik rakyat Indonesia.

Indonesia Sudah Jadi “Milik Negara Asing”
Sesungguhnya, saat ini Indonesia kembali dijajah dan sudah berhasil ditaklukkan oleh para kolonial dari Eropa dan negara-negara lainnya. Parahnya, bentuk penjajahan itu malah didukung oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam wujud MoU maupun kontrak yang berbau kongkalikong dalam mengeruk dan melahap habis kekayaan alam milik rakyat, sehingga sesungguhnya saat ini Ibu Pertiwi telah menangis terkapar tak berdaya karena “diperkosa” di depan anak bangsanya sendiri.

Tengok saja, total tanah atau lahan di Indonesia yang sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa dari negara asing:
1. Sekitar 42 juta hektar untuk pertambangan Mineral dan Batubara;
2. terdapat 95 juta hektar untuk Minyak dan Gas;
3. Ada 32 juta hektar di sektor kehutanan;
4. Sekitar 9 juta hektar untuk Perkebunan Sawit.

Luas keseluruhan yang telah dikuasai dan dikontrol oleh negara luar telah mencapai 178 juta hektar. Padahal luas daratan Indonesia adalah 195 juta hektar.

Investasi di Indonesia benar-benar sudah didominasi oleh perusahaan asing:
1. Sedikitnya 95% kegiatan investasi mineral dikuasai dua perusahaan AS, yakni PT. Freeport Mc Moran, dan PT. Newmont Corporation;
2. Sebanyak 85% eksploitasi Minyak dan Gas sudah dikuasai oleh negara asing, termasuk 48% migas dikuasai Chevron;
3. Sebanyak 75-85% perkebunan Sawit dikuasai negara luar;
4. Sebanyak 95% Air minum juga dikuasai asing;
5. Infrastruktur jalan tol 95% milik asing;
6. Industri farmasi dikuasai asing sebesar 75%, juga industri asuransi 80%;
7. Sudah 99% sektor Perbankan kini dikuasai negara asing;
8. Sebanyak 100% Mineral diekspor;
9. Sekitar 85% gas diekspor;
10. Terdapat 75% hasil perkebunan diekspor.

Hal tersebut di atas diungkapkan Salamuddin Daeng, dari Indonesia for Global Justice (IGJ), saat mengisi diskusi pada acara Rakernas MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia), Sabtu-Minggu (18-19 Mei 2013) yang lalu, di Jakarta.

Ia mengungkapkan bahwa investasi dalam rangka memburu bahan mentah di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Yakni sejak era kolonialisme Eropa tahun 1600-an.

Hingga tahun 1870-an, kata Salamuddin, kekuasaan Kolonial Belanda hanya meliputi Jawa dan Sumatera. Wilayah-wilayah lain hanyalah kekuasaan yang sifatnya administratif belaka. “Namun sekarang dominasi modal asing telah meliputi seluruh wilayah Nusantara hingga ke pulau terluar dan pulau-pulau kecil pun telah jatuh ke tangan modal asing,” ungkapnya.

Di sebutkannya, corak investasi di Indonesia saat ini bercirikan investasi kolonial, dengan tiga ciri utama, yaitu : Pertama, investasi menguasai tanah dalam skala yang sangat luas; Kedua, investasi hanya berorientasi mencari raw-material untuk kebutuhan industri di negara-negara maju; Ketiga, seluruh keuntungan atas investasi dilarikan ke luar negeri dan ditempatkan di lembaga keuangan negara-negara maju.

Secara detail, dikatakannya, di Nusa Tenggara Barat (NTB), PT. Newmont Nusa Tenggara menguasai 50% wilayah NTB dengan luas kontrak seluas 1,27 juta hektar. Di Pulau Sumbawa salah satu wilayah NTB, Newmont menguasai 770 ribu hektar, atau setara dengan 50% lebih luas wilayah daratan Pulau Sumbawa yang luasnya 1,4 juta hektar. Sementara para bupati/walikota di tiga 5 kabupaten kota di Pulau Sumbawa juga terus memberi izin tambang di atas lahan-lahan yang tersisa. Saat ini lebih dari 150 izin usaha pertambangan yang beroperasi di NTB, baik yang sedang melakukan eksplorasi maupun produksi.

Di Papua, Kontrak Karya (KK) Freeport seluas 2,6 juta hektar, HPH 15 juta hektar, HTI 1,5 juta hektar, Perkebunan 5,4 juta hektar, setara dengan 57% luas daratan Papua. Ini belum termasuk kontrak Migas yang jumlahnya sangat besar, sehingga diperkirakan Papua telah habis terbagi ke ratusan perusahaan raksasa asing.

Sementara di Kalimantan Timur (Kaltim) diperkirakan seluruh wilayah daratannya seluas 19,8 juta hektar juga telah dibagi-bagikan kepada modal besar dari negara asing. Izin tambang Mineral dan Batubara sekitar 5 juta hektar, Perkebunan 2,4 juta hektar, izin Hutan (HPH, HTI, HTR dan lain sebagainya) telah mencapai 9,7 juta hektar (data MP3EI). Ini pun belum termasuk kontrak Migas, sebagaimana diketahui Kaltim adalah salah satu kontributor terbesar pendapatan Migas negara.

Di Madura, luas kontrak Migas malah sudah melebihi luas Pulau Madura itu sendiri, yang diserahkan pemerintah kepada kepada Petronas, Huskil Oil, Santos, dan perusahaan asing lainnya.

Keseluruhan dan penguasaan asing itu adalah untuk menambah laju kemajuan negara-negara asing. Sementara Rakyat Indonesia hanya sibuk “menyanyi” dan “berjoget” seakan tak mau tahu dengan keadaan yang semakin dapat menghancurkan negeri ini. Sebagian lainnya hanya sibuk gasak, gesek, gosok antar-sesama, dan saling konflik antarsuku agama dan ras. Sungguh Pancasila juga ikut terkapar, terutama Sila ketiga dan Sila Kelima.

Sesungguhnya, terdapat salah seorang tokoh nasional yang sangat memahami kondisi ini, termasuk kiranya amat mengetahui strategi yang harus ditempuh agar Indonesia tidak “lumpuh” dikuasai oleh asing, yakni DR Rizal Ramli yang kini dikenal sebagai ekonom senior sekaligus tokoh oposisi yang selama ini sangat menentang kebijakan-kebijakan Pemerintahan SBY yang dinilainya hanya menguntungkan dan mengenyangkan negara-negara asing.

Sayangnya, langkah Rizal Ramli pada pilpres 2009 lalu mendapat hambatan hebat dari pihak-pihak yang diduga kuat antek-antek asing, sehingga Rizal Ramli tak bisa berbuat banyak.

Namun untuk memastikan rakyat Indonesia sejahtera, Rizal Ramli menyatakan jika rakyat memberinya amanah sebagai presiden 2014, maka akan mengamandemen UUD 1945 lagi, dengan tambahan utama kalimat “dimiliki oleh rakyat Indonesia” pada pasal 33. Kalimat inilah yang kelak benar-benar menjamin SDA Indonesia sepenuhnya dimiliki dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Bahkan Rizal Ramli mengaku berani menentang dominasi asing yang memang kini telah menguasai Indonesia. “Saatnya seluruh kedaulatan di negeri ini diserahkan kepada rakyat, bukan kepada dan untuk negara asing,” ujar Rizal Ramli.(map/ams)

Minggu, 11 Agustus 2013

Sektor-sektor Strategis Indonesia Sudah Dikuasai Asing


Jakarta, [RR1-online]:
BETAPA memprihatinkan, ternyata mulai dari sektor pangan, air minum, energi, kesehatan, pendidikan, hingga perbankan dan keuangan dikuasai oleh asing. Regulasi yang mestinya berazaskan Pancasila dan UUD 1945 menjelma menjadi kebijakan yang dikendalikan oleh asing.

Dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia telah menandatangani sedikitnya 11 nota kesepahaman (MoU) dengan negara lain terkait investasi dan perdagangan. MoU itu antara lain dengan China, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.

Padahal, komitmen dengan negara-negara maju itu sesungguhnya justru merugikan Indonesia, bahkan hingga ke tingkat dasar, soal konstitusi. Kebijakan yang mestinya berazaskan Pancasila dan UUD 1945 telah berubah menjadi kebijakan yang dikendalikan oleh asing.

“Paling konkret, bisa kita lihat pada perubahan dalam UU Penanaman Modal,” kata Riza Damanik dari Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (7/7/2013) lalu.

Disebutkannya, sejak UU Penanaman Modal disahkan lalu ditindaklanjuti dengan Perpres No. 36 Tahun 2010, usaha benih tanaman pangan dikuasai pihak asing hingga 95 persen. Budidaya tanaman pangan dan sektor perkebunan pun dikuasai asing dengan porsi sebesar itu. Pada sektor khusus, 70 persen hasil perkebunan sawit dilarikan ke Uni Eropa. Sedangkan petani dan masyarakat lokal setempat hanya mendapat bagian yang disebut konflik.

Beralih ke sektor lain, 95 persen air minum juga dikuasai asing. Infrastruktur jalan tol pun 95 persen milik asing. Sektor industri farmasi dikuasai asing sebesar 75 persen dan industri asuransi 80 persen. Ada pula yang hampir seluruhnya atau 99 persen dikuasai asing, yakni sektor keuangan dan perbankan serta sektor perikanan dan kelautan. Sungguh menyedihkan, Indonesia yang terkenal dengan negara agraris dan bahari itu malah dinikmati oleh negara luar.

Pada sektor kesehatan, pelayanan rumah sakit dan klinik spesialis sudah dikuasai asing hingga 67 persen. “Jadi, kalau hari ini ada subsisi atau insentif dari negara kepada orang miskin untuk berobat, maka sesungguhnya uang itu bukan jatuh ke orang miskin, tapi masuk ke perusahaan asing yang bergerak di sektor farmasi,” katanya.

Sejatinya, segala sektor dari hulu ke hilir sudah dikuasai asing. Bukan hanya di darat, tapi juga di lautan. “Selama pemerintahan SBY ini terjadi liberalisasi di seluruh sektor strategis. Semua itu disengaja sebagai komitmen sepihak antara pemerintahan SBY dengan negara asing,” katanya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Ekonom Senior DR. Rizal Ramli menguraikan, bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang amat berlimpah, tapi rakyatnya terpuruk. Indonesia harus mengembalikan pembangunan ekonomi ke tengah. Pancasila dan Undang Undang 1945 telah menetapkan garis ekonomi secara jelas, bukan komunisme bukan kapitalisme.

“Namun rezim SBY yang berkuasa telah menarik kebijakan ekonomi terlalu ke kapitalis, neoliberalisme, ke kanan, sehingga menumbuhkan kapitalisme tanpa batas. Akibatnya, kesejahteraan semakin timpang dan kehidupan sebagian besar rakyat justru makin terpuruk,” katanya.

Disebutkannya, bahwa sistem ekonomi neolib era SBY yang menyerahkan segala sesuatunya pada mekanisme pasar, benar-benar telah menjauhkan Indonesia dari ekonomi konstitusi. “Bukan cuma ekonomi menjadi sangat liberal, tapi pendidikan dan kesehatan pun menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau sebagian besar rakyat. Ini harus segera diubah,” ujar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Menurut capres paling reformis versi LPI (Lembaga Pemilih Indonesia) ini, kebijakan ekonomi neoliberal hanya bisa terjadi karena hegemoni penguasa antek yang korup. Rezim neoliberal yang korup telah merenggut hak-hak dasar rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

“Yang perlu dilakukan sekarang adalah kembali ke sistem ekonomi Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya kita susun Undang undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang berpihak pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyak undang undang yang disusun berdasarkan pesanan lembaga internasiional. Tidak mengherankan bila mereka bisa menguasai sumber daya alam yang justru merugikan bangsa dan rakyat Indonesia,” ungkapnya.

Sampai saat ini, katanya, selama dua priode rezim sekarang berkuasa, kekayaan alam yang berlimpah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah yang terjadi justru makin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia modern, jarak antara yang kaya dan miskin selebar seperti saat ini.

Rizal Ramli yang kini selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) itu tak menepis, bahwa ekonomi konstitusi tidak berarti Indonesia menutup diri dari dunia luar. Sesuai semangat konstitusi, ekonomi Indonesia tidak anti modal asing. Namun, ekonomi konstitusi sejak awal mencegah perekonomian Indonesia didominasi dan menjadi objek eksploitasi negara lain.

“Selama sembilan tahun terakhir, total utang naik dari Rp1.000 trillliun menjadi Rp2.100 triliun. Namun tidak ada pembangunan infrastruktur yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, utang luar negeri tersebut ditukar dengan berbagai UU yang menjadi pintu masuk kebijakan ekonomi neoliberal dan kapitalisme ugal-ugalan, hingga sumber-sumber kekayaan alam Indonesia pun kini sudah dikuasai oleh negara asing,” Rizal Ramli.

Ketika rakyat mengetahui kondisi tersebut, maka rakyat sudah tentu butuh pemimpin yang tidak hanya berani mengambil sikap dan kebijakan untuk membenahinya, tetapi juga sangat dibutuhkan pemimpin yang paham dengan langkah-langkah penataan struktur ekonomi di Indonesia.(map/ams)