Selasa, 11 Maret 2014

Hanya Presiden “Berotak” Ekonomi yang Bisa Membuat Ekonomi Indonesia Jadi “Berotot”

[RR1online]:
HAMPIR 10 tahun pemerintahan SBY berlangsung, tetapi selama itu pula penanganan masalah ekonomi di negeri ini boleh dikata masih sangat memprihatinkan. Misalnya, ekonomi para petani kita yang kian hari makin nampak “terluka” akibat pemerintah yang lebih doyan melakukan impor terhadap seluruh komoditas pertanian. Sampai-sampai air  dan garam pun ikut diimpor oleh pemerintah. Sungguh menyedihkan..!!?!!

Juga dengan kekayaan alam pertambangan kita berupa migas, mineral, dan lain sejenisnya yang sejauh ini pula lebih diserahkan penguasaan pengelolaannya kepada pihak asing. Sampai-sampai hampir seluruh lembaga keuangan (bank) saat ini pun ikut dikuasai oleh pihak asing.

Sementara, rakyat Indonesia (sebagai tuan rumah) lebih banyak hanya dijadikan kuli dan bahkan babu di negeri sendiri. Sehingga jangan heran jika tak sedikit pula rakyat Indonesia kini lebih memilih menjadi “babu” di negeri orang sebagai TKI/TKW. Sungguh memilukan..!!??!!

Nilai Rupiah yang terus melemas, harga BBM yang dipaksakan naik di saat ekonomi rakyat belum mapan, membuat kemudian kenaikan harga-harga kebutuhan hidup pun makin mencekik leher dan perut rakyat.

Ke mana mengalir APBN yang jumlahnya hampir Rp.2.000 Triliun pertahun yang katanya adalah untuk rakyat itu..??? Sangat aneh, ketika rakyat tak henti-hentinya menjerit dan memohon agar pemerintah dapat segera mengambil langkah perbaikan ekonomi yang pro-rakyat, namun di saat bersamaan para pejabat malah sibuk memamerkan kemewahan: membangun rumah mewah, istri/suami dan anak-anak mereka masing-masing dibelikan mobil mewah, perhiasan mewah, pakaian mewah, hand-phone mewah, dan lain sebagainya. Apakah APBN/APBD selama ini memang hanya lebih banyak mengalir ke kantong para pejabat beserta para keluarganya, seperti yang terjadi di Banten…???

Sungguh pemerintahan yang berjalan selama hampir satu dekade ini hanya nampak berhasil membuka secara luas perbedaan status dan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, pribumi dan pihak asing, juga antara kelompok elit dan kelompok “liliput”.

Masalahnya, bukan karena si miskin dan pribumi (rakyat Indonesia) tidak punya kemampuan melakukan upaya maksimal berupa daya berkreasi, berinovasi, maupun berprestasi dalam memperbaiki diri. Masalah ini sebetulnya lebih terletak pada nilai keseriusan pemerintah (sebagai pihak yang diberi amanah), yakni hanya nampak setengah hati atau tidak sungguh-sungguh memberi peluang selebar-lebarnya kepada si miskin, pribumi , dan kelompok liliput guna kemajuan ekonomi mereka (sebagai pemberi amanah).

Memang betul, pemerintah sudah melakukan langkah-langkah pemberdayaan. Tetapi langkah-langkah itu boleh dikata hanya sebatas “tambal menambal ban bocor” saja, sehingga ketika berputar dan berjalan lalu menginjak “batu kerikil” saja, ban itu pun kembali bocor.

Dari sisi politik, tambal-menambal ban bocor ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai upaya (strategi) untuk tetap memiskinkan orang miskin agar ketika Pemilu masih ada banyak orang miskin yang bisa “disuap” guna memberikan suaranya.

Artinya, upaya tambal ban ini sekaligus hanya bisa disebut sebagai sebuah strategi “sinterklas” dari para parpor penguasa (incumbent), terlebih ketika menghadapi Pemilu/Pemilukada. Tentu saja tujuannya agar dapat kembali menjadi pemenang. Dan strategi seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh penguasa yang “berotak” politik.

Olehnya itu, rakyat harus segera bergegas “siuman” dan segera menyadari, bahwa masalah kita sesama rakyat selama ini sebetulnya adalah terletak pada kesulitan ekonomi yang belum bisa diatasi sampai saat ini oleh pemerintah. Sehingganya, dalam Pemilu 2014 ini, kita wajib melahirkan seorang Presiden yang “berotak” ekonomi (ahli ekonomi) agar dapat membuat ekonomi Rakyat Indonesia jadi “berotot”.

Jika ekonomi Indonesia bisa berotot, maka negara mana pun pasti akan sangat segan dan menghormati Indonesia. Tidak seperti sekarang, sudah rakyatnya banyak yang miskin, pejabatnya korupsi pula. Dan dalam kondisi seperti ini, negara sekecil mana pun akan memandang remeh dan rendah Indonesia. Intinya adalah otot-otot ekonomi harus segera bisa dibuat kekar.

Apabila ekonomi bangsa ini sudah kekar, maka perkara-perkara hukum dan politik tidak akan bisa diperjualbelikan lagi; para guru akan lebih giat mengajar dengan penghasilan yang memadai; petani dan nelayan akan bersemangat berproduksi secara melimpah karena nilai dan mata rantai pemasarannya telah jelas; para pelajar ketika tamat studi tak perlu lagi kuatir menjadi pengangguran atau TKI karena lapangan pekerjaan selalu terbuka luas di negeri sendiri; TNI dan Polri tak perlu repot lagi berhadapan dengan demonstran anarkis, atau cari-cari usaha “sampingan”.

Dan sekali lagi, postur ekonomi kita hanya bisa berotot jika Presiden kita mendatang adalah sosok yang berotak ekonomi. Yakni adalah sosok yang benar-benar memiliki pengalaman dan kemampuan di bidang penanganan pembangunan ekonomi, serta sosok yang punya rekam jejak memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat.

Dan dari semua sosok yang kini disebut-sebut akan maju bertarung dalam Pilpres 2014 ini, hanya ada satu sosok Capres yang benar-benar berotak ekonomi yang tak perlu lagi diragukan keahlian dan pemahamannya dalam hal mengangkat derajat dan martabat ekonomi bangsa, yakni adalah DR. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian, yang saat ini sebagai anggota penasehat ekonomi di badan dunia PBB.

Bukan masalah jika sampai saat ini Rizal Ramli tidak memiliki parpol. Justru dengan tidak berparpol, Rizal Ramli lebih layak dan pantas diberi dukungan penuh. Sebab dengan tidak berparpol, Rizal Ramli menunjukkan sebagai sosok yang benar-benar “murni lahir” dari rakyat, bukan dari parpol tertentu. Sehingga jika menjadi presiden (atau mungkin wakil presiden), maka Rizal Ramli tentunya lebih berpihak untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan parpol tertentu.

Jika hal ini disadari oleh rakyat dengan memilih Rizal Ramli sebagai sosok yang berotak ekonomi menjadi pemimpin di negeri ini, maka Indonesia diyakini akan menjadi negara digdaya karena memiliki ekonomi yang kekar dan berotot. Semoga Allah merestui dan mewujudkannya. Amin..!!!

Serahkan urusan atau masalah kepada ahlinya, jika tidak, maka tunggulah kehancuran. SALAM PERUBAHAN 2014…!!!
--------
Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 02 Maret 2014

Jika Rizal Ramli Presiden/Wapres, Kesepakatan Pasar Bebas AEC akan Direvisi

[RR1online] :
AGAR Indonesia tidak menjadi pasar empuk produk dan jasa negara-negara ASEAN, Indonesia harus berani mengambil langkah negosiasi ulang terhadap kerjasama pasar bebas negara-negara ASEAN Economic Community (AEC).

Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, DR. Rizal Ramli (RR1) pada acara Diskusi dan Seminar AEC 2015, yang bertajuk: “Peran Masyarakat dan Mahasiswa dalam Menghadapi Asean Economy Community 2015”, di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, Sabtu (1/3/2014).

Menurut RR1, Indonesia harus merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community-AEC (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). Pasalnya, kata RR1, tidak semua komoditas dan jasa kita mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN. Langkah ini harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

“Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar (sektor) lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan. Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan. Kalau jadi presiden, saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia,” urai Rizal Ramli yang kini menjadi Kandidat Capres terkuat di Konvensi Rakyat 2014.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini juga menerangkan, revisi skema kerjasama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi. “Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi ‘bulan-bulanan’ negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri,” ujar ekonom senior ini.

RR1 yang juga mantan Presiden Komisaris PT Semen Gresik ini menuturkan, bahwa yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah free trade (perdagangan bebas). Sebab, menurut RR1, membebaskan perdagangan antara negara berkembang dan maju, sama saja membiarkan (memaksakan) petinju seperti Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

“Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor,” tegas RR1 yang hingga kini tetap gigih memperjuangkan ekonomi konstitusi.

RR1 menunjuk sektor yang bisa dihadapi secara fight dan dibuka sebebas-bebasnya oleh Indonesia adalah di antaranya seperti sektor tekstil dan produk tekstil, serta sektor minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan kakao.
Sektor-sektor unggulan semacam itu, kata RR1, tentunya akan membuat Indonesia bisa disebut unggul dalam pasar bebas untuk kawasan ASEAN.

“Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja desain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian,” jelas RR1.

Hal lain yang dikemukakan RR1 yang juga mantan Menteri Keuangan itu adalah menyarankan, bahwa sebaiknya Indonesia tidak buru-buru meliberalisasi sektor keuangan. Bank-bank yang sepintas seperti kuat, ternyata meraih untung besar karena tingginya spread antara cost of money dengan suku bunga kredit. “Jika sektor keuangan dibebaskan, bisa dipastikan akan banyak menimbulkan masalah,” tutur RR1 yang saat menjabat menteri sempat berhasil menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa mengeluarkan uang negara serupiah pun.

-----
Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 09 Februari 2014

Impor Beras, “Lumbung Modal” untuk Ongkos Politik?

[RR1online]:
MASYARAKAT (terutama petani) kini makin geleng-geleng kepala, dan bertambah menduga bahwa pemerintahan SBY sepertinya amat dipenuhi dengan “permainan kotor” untuk pemenuhan keuntungan kelompok tertentu saja. Kecurigaan ini makin membesar saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah indikasi kejanggalan atas kebijakan impor beras dari Vietnam, belum lama ini.

Dari situ, kontroversi pun bermunculan. Tetapi publik nampaknya lebih banyak mencium: …jangan-jangan parpol penguasa  sedang melakukan “pengumpulan modal” untuk ongkos politik jelang Pemilu 2014???

Meski sudah ada upaya klarifikasi dari pemerintah, seperti dari Menkeu yang menyebut bahwa beras impor tersebut masuk ke Indonesia secara legal (bukan dengan penyelundupan). Tetapi sebagian besar publik memandang klarifikasi seperti itu tidak mampu menghilangkan kecurigaan terhadap kemunculan beras impor yang dinilai sangat aneh dan “misterius” itu.

Ekonom senior, DR Rizal Ramli (RR1), adalah salah satu pihak yang merasa sangat yakin dengan adanya ketidakberesan dan keanehan atas impor beras tersebut.

Selaku tokoh yang paling giat membela kepentingan rakyat, Rizal Ramli menyatakan, bahwa sangat aneh jika beras premium dimasukkan ke Indonesia dalam jumlah sangat banyak, padahal yang mengonsumsi beras tersebut jumlahnya tidak banyak. “Yang namanya beras khusus, ketan, premium kebutuhannya relatif kecil dibandingkan dengan total permintaan beras di Indonesia,” ujar RR1 di salah satu stasiun televisi, baru-baru ini.

Dijelaskannya, di saat beras-beras premium itu lebih banyak hanya dikonsumsi oleh kalangan-kalangan ekonomi menengah ke atas, maka sangat aneh jika di sisi lain Indonesia melakukan impor beras (premium) dalam jumlah besar.

RR1 menyatakan, selain hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya sistem monitoring di Departemen Perdagangan, juga izin impor beras premium itu diubah atau dimanipulasi dengan memasukkan beras medium (beras biasa). “Dan ini menunjukkan bahwa sistem control in-check tidak jalan (tidak dilaksanakan),” ujar Rizal Ramli.

Dari hasil uji laboratorium juga membuktikan bahwa beras impor yang beredar di pasaran itu nyatanya memang jenis khusus (premium), bukan medium. Tetapi karena disebut itu seolah-olah medium, maka harganya sangat murah. Sehingganya, harga jual dari petani akan terpaksa (mau tak mau) harus bisa jauh lebih murah jika ingin laku. Dan ini sama saja membuat petani jadi makin menderita di “rumah sendiri”.

“Menurut saya, ini tidak ruwet-ruwet amat kok buat diperiksa. Kalau diperiksa yang betul akan ketahuan siapa saja pemainnya, apa motifnya, keuntungannya berapa?” tutur RR1.

Dan ini, menurut RR1, bukan persaingan (kompetisi) antar pedagang. Sebab, persaingan dagang tidak harus selisih sampai loncat Rp.2 ribu. “Kalau hanya kompetisi itu selisih harganya paling cuma Rp10 hingga Rp30. Tetapi kalau selisih harganya sudah mencapai hingga Rp.2.000 atau Rp.3.000 ribu, maka pasti ada aspek manipulatifnya memasukkan barang impor yang tidak diizinkan,” ujar RR1.

Mantan Menko Perekonomian ini pun memprediksi, keuntungan dari permainan ini sekitar Rp.2 ribu hingga Rp.3 ribu perkilo, atau antara sekitar $2 ribu sampai $ 3ribu perton. “Kalau dikalikan (dengan) nyaris 200 ribu ton, (maka) paling tidak 40 juta dollar atau 400 miliar,” katanya.

Ditanyakan seputar siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini, RR1 menanggapi, bahwa memang biasa terjadi saling melempar tanggungjawab antar-departemen. Tetapi, kata RR1, di sinilah peranan seharusnya dari Menko Perekonomian untuk meneliti di mana saja pola permainannya.

“Dan menurut saya ada hal yang lebih besar, (yakni) kebijakan khusus impor pangan itu harus segera dikurangi dan dihentikan. Tidak masuk akal negara sekaya Indonesia, banyak hujan, tanahnya luas, tapi harus melakukan impor pangan. Motifnya kebanyakan bukan karena kebutuhan sungguh-sungguh dari konsumen di Indonesia, tetapi motifnya karena ada komisi ada feed-back yang mencapai jumlah triliunan kalau misalnya dilakukan impor hingga 2 juta ton.  Seharusnya dalam kondisi yang memiliki lahan dan tanah luas serta subur, Indonesia semestinya menjadi negara eksportir,” jelasnya.

Rizal Ramli yang kini juga sedang digodok sebagai Capres ideal 2014 oleh Komite Konvensi Rakyat ini, lebih dalam menyebutkan adanya semacam trik untuk mendapatkan biaya politik di Indonesia sejak zaman dulu, biasanya dikumpulkan: 1). Dari perdagangan dan impor beras, dan impor pangan lainnya; 2). Dari perdagangan minyak bumi dan gas; serta 3). Dari merampok bank, seperti Bank Century.

Pembelian beras (impor) selalu menjadi pilihan. Karena, ungkap RR1,  selain mudah dilakukan dengan cara, misalnya, rakyat atau bangsa kita yang gampang ditakut-takuti, bahwa jika tidak segera melakukan impor maka rakyat akan kekurangan pangan dan sebagainya.

“Padahal sebetulnya, tidak ada kebutuhan mendesak untuk impor. Tetapi setiap tahun terus impor 2 juta ton. Dari impor sebesar itu bisa mencapai sekitar Rp.3 Triliun hingga Rp.4 Triliun sebagai komisi (fee) yang dibagi-bagi buat mereka yang terlibat dalam permainan impor tersebut,” ujar RR1.

Terlepas dari itu, mantan Kabulog era Presiden Gus Dur ini juga menawarkan alternatif solusi agar Indonesia benar-benar bisa menjadi lumbung pangan, dan tidak lagi ada impor beras yang hanya patut diduga sebagai “lumbung modal” untuk ongkos politik parpol penguasa.

“Sebetulnya ada cara yang lebih mudah (agar tidak lagi impor). Kita bangun 4 waduk dan sistem irigasi sepanjang Sulawesi Selatan, Indonesia akan surplus beras 2 juta-3 juta ton dalam waktu kurun dari 2-3 tahun. Aneh, BPS katakan surplus, (tapi) kok tiap tahun impor?” pungkas penasehat ekonomi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini.(map/ams)
------------
Sumber: Kompasiana

Minggu, 05 Januari 2014

2014: SBY dkk Mulai “Main Licik”? Waspadalah!


[RR1online]:
PENGHUJUNG Desember 2013 yang baru lalu, terkait Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), masyarakat ramai-ramai menolak Perpres No 105/2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna kepada Menteri dan Pejabat Tertentu, juga Perpres Nomor 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara.

Presiden SBY pada penghujung Desember itu juga kemudian membatalkan kedua Perpres yang telah “terlanjur” ditandatanganinya tersebut, dengan alasan karena masyarakat protes. Laahhh…. Kenaikan harga BBM kemarin juga diprotes oleh rakyat secara frontal, tetapi kok SBY tidak membatalkannya…??? Mengapa Perpres dengan mudahnya dibatalkan…??? Ada apa…??? Ditahan dulu, sebentar kita coba jawab…!!!

Karena saat ini, kita lagi-lagi “dipaksa” untuk sama-sama “terlibat” dalam sebuah masalah, yakni tentang gas elpiji 12 Kg yang (tiba-tiba) mengalami kenaikan harga sebesar 68%.

Kabarnya, kenaikan elpiji tersebut “katanya” merupakan inisiatif (korporasi) PT Pertamina Tbk tanpa perlu meminta izin pemerintah. Artinya, pemerintah tidak punya kewenangan untuk mengintervensi harga itu, kecuali untuk elpiji subsidi. Tetapi ini akan menjadi aneh jika harus dinaikkan secara “tergesa-gesa” di saat ekonomi rakyat belum bisa dipulihkan oleh Pemerintah???

Artinya, dengan kondisi Pemerintah yang belum bisa memulihkan ekonomi rakyat seperti saat ini, Pertamina setidaknya harus melakukan konsultasi kepada Pemerintah tentang rencananya untuk menaikkan harga elpiji. Sebab, saat ini elpiji adalah salah satu kebutuhan yang sangat mendasar bagi rakyat dalam upaya pembentukan ekonominya. Misalnya, bagi para usaha kuliner dan lain sebagainya.

Sehingga dengan kenaikan harga elpiji tersebut, maka tentunya secara psikologis bisa dipastikan rakyat akan amat kecewa dan gusar, lalu melakukan penolakan. Bahkan sebagiannya tentu akan menghujat SBY. Dan ujung-ujungnya akan bisa memicu timbulkan gejolak perlawanan terhadap pemerintah.

Dan saya pikir, tidaklah mungkin SBY maupun Pertamina jika tidak memahami akan kondisi psikologis rakyat seperti itu. Saya malah sangat yakin, SBY amatlah memahami efek domino maupun dampak buruk yang akan timbul atas kenaikan harga elpiji tersebut. Lalu mengapa harga elpiji itu terkesan dipaksakan dinaikkan? Dan apa pula hubungannya dengan Perpres tadi?

Secara ekonomi memang sangat jauh hubungannya. Tetapi secara politik, kedua hal itu sangat erat hubungannya karena bisa membangun pencitraan positif sekaligus dapat memulihkan kembali image negatif publik kepada kepemimpinan SBY.

SBY sepertinya sangat cerdas, juga licik. Selaku pemerintah, ia seakan sengaja melempar bola panas atau pun masalah kepada rakyat. Lalu ia pula yang tampil mendinginkan masalah tersebut dengan memunculkan diri seakan-akan sebagai pahlawan pembela rakyat dengan cara mencabut Perpres tersebut.

Dan begitu pun nantinya dengan persoalan elpiji 12 Kg tersebut. Di saat rakyat sudah dilihatnya berkecamuk secara hebat menolak kenaikan harga elpiji, maka di saat itu pula SBY akan tampil untuk “memerintahkan” Pertamina agar segera membatalkan kenaikan elpiji tersebut. Hal ini kemungkinan akan dilakukan SBY agar publik bisa langsung menilainya sebagai pemimpin yang pro-rakyat.

Padahal boleh jadi, kedua hal tersebut hanyalah akal-akalan SBY demi meraih citra positif. Karena sangat mustahil rasanya apabila seorang SBY tidak mampu memikirkan kemungkinan-kemungkinan akan munculnya penolakan rakyat atas Perpres maupun dengan kenaikan elpiji tersebut.

Namun jika memang SBY tidak sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka rakyat tak salah apabila menilai SBY adalah pemimpin yang tak memiliki kepekaan terhadap dampak yang ditimbulkan dari sebuah kebijakannya sendiri.

Tetapi sekali lagi, itu tidak mungkin. Tidak mungkin SBY tidak memikirkan itu. Saya yakin SBY sudah sangat paham, bahwa Perpres tadi dan kenaikan elpiji itu adalah dua hal yang termasuk menyakiti hati dan mencekik ekonomi rakyat, sehingga rakyat tentu akan menolaknya dengan hebat.

Artinya, SBY pastilah bisa memikirkan dan memahami, bahwa Perpres dan kenaikan harga elpiji itu tentu akan ditolak habis-habisan oleh rakyat. Dan justru karena sangat memahami akan memunculkan gejolak hebat itulah sehingga boleh jadi SBY sengaja menggulirkannya ke tengah-tengah masyarakat. Lalu SBY pula kemudian yang tampil menolaknya agar rakyat memberinya jempol sebagai pemimpin pembela rakyat. Dan nampaknya, seperti inilah strategi SBY dalam “membersihkan diri” atas pandangan kotor dari publik selama ini terhadap dirinya.

Strategi seperti itu adalah memang satu-satunya cara instan yang biasa ditempuh oleh seorang penguasa ketika pemerintahannya telah dinilai gagal menjelang akhir jabatannya, atau di saat mendekati pelaksanaan Pemilu.

Sebab, untuk menuntaskan masalah-masalah negara yang ada saat ini rasanya memang sudah sangat kecil kemungkinan untuk bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini, seperti memulihkan ekonomi, memperkuat nilai rupiah, menurunkan angka kemiskinan, korupsi, penguasaan SDA oleh negara asing, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan berhasilnya mencabut Perpres yang ditolak oleh publik, juga dengan persoalan kenaikan harga elpiji yang nantinya akan dicabut oleh Pertamina karena desakan sejumlah parpol di Senayan (termasuk PD, Golkar, dan lain sebagainya), maka nama SBY bersama para parpol koalisinya pun kembali mendapat sanjungan dari rakyat. Dan beginilah kiranya mereka melakukan “tancap gas” menuju Pemilu 2014.

Mari kita simak teriakan parpol penguasa beserta sejumlah koalisinya terhadap kenaikan harga elpiji itu.

Seperti dilansir metrotvnews, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menuturkan, pihaknya kecewa terhadap keputusan Pertamina yang menaikkan harga gas elpiji 12 kg secara sepihak tanpa konfirmasi ke DPR. “DPR hari ini reses, tiba-tiba saja diumumkan kenaikan elpiji. Ini keputusan yang kurang ajar,” tutur Priyo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (4/1).

Lalu dikutip satu sumber. Di awal tahun baru 2014 ini, rakyat Indonesia lagi-lagi harus menghadapi kenyataan yang pahit akibat buruknya manajemen energi dan sumber daya alam mineral dari kementrian ESDM yang dipimpin oleh Jero Wacik. Menanggapi hal tersebut Ketua DPP PKS Bidang Humas Mardani Ali Sera mengatakan kebijakan tersebut menciderai masyarakat. “Kenaikan Harga LPG Menciderai Semangat Menyayangi Masyarakat” ujar Mardani kepada PKS Cibitung dalam pesan singkatnya Sabtu (4/1) siang.

Kemudian Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan, pihaknya menolak keputusan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram. Pasalnya, kenaikan tersebut akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Saat harga BBM dinaikan tahun lalu, inflasi atau harga-harga kebutuhan pokok turut naik. “Kondisi seperti ini jangan sampai terulang lagi dan jangan ada kebijakan apapun yang justru bisa memicu kenaikan harga kebutuhan pokok,” tambahnya, sebagaimana dilansir metrotvnews. (Menurut saya ini statemen paling aneh dan menggelitik)

Dan ini lebih aneh lagi. Bahwa pihaknya (pihak Ibas) mendesak pemerintah segera membuat perubahan, paling tidak tetap membuat ekonomi stabil, stabilitas harga harus terus terjaga dan tidak membebani rakyat. “Ini kebijakan korporat (Pertamina) dan kami yakin rencana kenaikan harga elpiji ini tidak dilaporkan kepada Presiden,” kata Ibas.

Atas semua hal tersebut di atas, sebagai sesama rakyat (tidak termasuk elit dan kader parpol koalisi penguasa), saya mengimbau untuk waspada terhadap gerakan-gerakan pemerintah beserta para parpol koalisinya saat ini. Sebab, apapun yang dilakukan oleh pemerintahan SBY saat ini bersama koalisinya, itu patut diduga adalah hanya untuk kepentingan dan keuntungan kelompok partainya masing-masing pada Pemilu 2014 mendatang. Bohong kalau TIDAK...!!!

Sebab sekali lagi, sangat aneh dan amat geli rasanya jika parpol penguasa beserta koalisinya hari ini (2014) mulai ikut berteriak menolak kenaikan harga elpiji dengan alasan karena hanya membenani rakyat. Laahh.. saat kenaikan harga BBM kok pada ngotot mendukung…??? Tetapi pertanyaan ini sangat gampang dijawab. Yakni, karena sudah mendekati Pemilu 2014..! Semuanya pada cari dan setor muka kepada rakyat sebagai pemilik suara dalam Pemilu..!!
------------
Sumber: Kompasiana

Rabu, 18 Desember 2013

Rizal Ramli: Indonesia Terjebak dalam WTO

[RR1online]:
DALAM Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO pada 3-6 Desember 2013 di Bali kembali menegaskan bahwa liberalisasi yang menjadi agenda perjanjian dalam WTO bertolak belakang dengan cita-cita keadilan sosial.

Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli menilai, bahwa bergabungnya Indonesia dengan WTO selama sembilan belas tahun kebelakang arahnya hanya menuju ke neoliberalisme, dan sudah sangat menjauh dari cita-cita nasional.

Pertemuan KTM-9 WTO dengan tiga agenda fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture) adalah upaya negara-negara maju untuk memperluas krisis di Indonesia dengan mengeksploitasi kekayaan alam atas nama investasi besar-besaran, dan bahkan memukul lalu merontokkan produk pangan lokal atas nama serbuan pangan impor serta upaya pelepasan peran negara dengan mencabut subsidi pertanian.

Dampak dari semua itu tentu saja adalah pemiskinan strukutural yang masif karena lemahnya akses terhadap sumber kekayaan alam yang diliberalisasi.

Dan liberalisasi tersebut terbukti semakin menyengsarakan kehidupan petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan rakyat kecil lainnya. Salah satu misalnya, adalah liberalisasi sumber agraria juga telah melahirkan konflik agraria struktural yang makim masif.

Libido negara maju yang menghendaki negara berkembang mencabut subsidi pertanian adalah bukti bahwa negara maju menginginkan masuknya negara berkembang dalam skema perdagangan bebas yang liberal.

Di negara maju sendiri teknologi dan keahlian serta modal mendorong perkasanya sektor pertanian negara maju, sementara negara maju meminta negara berkembang untuk menghilangkan peran pemerintah dalam melindungi petani lokal dan mencabut subsidi pertaniannya. Negara maju juga terbukti memberi subsidi yang begitu besar bagi petaninya, AS tercatat menngelontorkan sekitar US$ 130 M (2010) sementara di Eropa US$ 106 M (2009). Sementara Indonesia hanya menganggarkan 2.5% dari total anggaran dalam RAPBN 2014.

Sejak Indonesia bergabung dengan WTO yang ditandai dengan ratifikasi perjanjian pembentukan WTO pada November 1994 melalui Undang-undang No.7/1994 Indonesia telah terjebak dalam skema liberalisasi perdagangan dan upaya penghilangan peran-peran negara dalam memproteksi ekonomi nasional.

Pemerintah sejak saat itu telah menciptakan sebuah lingkungan mendukung liberalisasi perdagangan seperti penurunan tarif serta menghapuskan hambatan impor. Secara terang benderang praktek liberalisasi yang menjadi resep badan internasional bernama WTO antara lain: Perluasan Akses Pasar dan Mekanisme Pasar; Harmonisasi Tarif; Most Favoured Nations (MFN); National Treatment (NT); Penghapusan Restriksi Kuantitatif dan Liberalisasi Progresif telah mengamputasi kedaulatan ekonomi nasional.

Hingga saat ini WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sehingga itu, perjanjian ‘Bali Package’ yang disepakati dalam forum konfrensi tingkat menteri (KTM) WTO di Bali beberapa waktu lalu itu, menurut Rizal Ramli, adalah sebetulnya makin menunjukkan sikap Indonesia yang pro-kepentingan negara maju.

“Indonesia nggak jelas karena selalu berjuang demi kepentingan negara maju,” ujar Rizal Ramli, Capres paling ideal itu pada sela-sela diskusi Pekan Politik Kebangsaan bertajuk ‘DPR Dambaan Rakyat’ di Gedung ICIS, Jakarta, Rabu (11/12).

Di lain pihak, Rizal Ramli yang kini juga selaku Ketua Umum Kadin  itu menyatakan kekagumannya pada India dan Brazil karena mau menolak kebijakan pengaturan subsidi pertanian oleh WTO tersebut, karena urusan pangan menyangkut nasib miliaran orang warga negaranya.

“Sedangkan Indonesia, apalagi zamannya Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) itu diperjuangkan sekali kepentingan asing,” pungkas Rizal Ramli yang juga dikenal sebagai Capres paling giat melawan korupsi.(map/ams)

Jumat, 29 November 2013

No Problem: No IMF, No Bailout, No Politically!! (Pengalaman Rizal Ramli Selamatkan Bank)


Jakarta, [RR1online]:
AWAL Juli 2001, akibat dari imbas krisis 1998, pemerintah masih menghadapi situasi yang amat pelik. Salah satunya adalah dengan munculnya rush yang dialami Bank Internasional Indonesia (BII), yakni sebuah potensi yang tak kecil timbulnya krisis ekonomi nasional.
   
Ketika itu, BII sebagai bank yang sahamnya 100% telah dikuasai oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tiba-tiba diserbu nasabah. Mereka menarik dana simpannya di BII seiring dengan mencuatnya kontroversi kredit yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun.

Kredit yang disalurkan kepada kelompok usaha yang dipimpin konglomerat, Eka Tjipta Widjaya – pemilik lama saham BII – itu dikabarkan masuk kategori lima, alias macet total.

Kondisi tersebut tentu saja memancing isu miring: BII kesulitan likuiditas. Kondisi inil pula kemudian yang membuat nasabah BII mulai panik, lalu menarik simpanan mereka. Jumlah dana yang ditarik semula cuma puluhan miliar rupiah. Belakangan, kepercayaan nasabah terhadap BII kian goyah, sehingga pemilik duit pun ramai-ramai menarik hingga mencapai Rp.500 miliar.

Dapat digambarkan, situasi saat itu sudah mengalami lampu merah, alias dangerous! Sebab, jika tak segera diatasi, maka bukan cuma BII sendiri, melainkan juga bagi perbankan nasional secara keseluruhan akan kena imbasnya (efek domino). Artinya, jika rush terhadap BII terus berlanjut, maka akan muncul efek domino: yakni bank-bank lain akan ikut kena getahnya, diserbu nasabah yang juga panik menarik dananya. Yang pada akhirnya, krisis ekonomi pun tak bisa dihindari.

Tapi untung saja, Rizal Ramli sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) ketika itu, sungguh amat jeli melihat gelagat buruk yang dipicu oleh rush bank tersebut.

Rapat maraton pun segera digelar, melibatkan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution, pejabat tinggi Departemen Keuangan dan staf Menko Perekonomian. Tujuannya, mencari solusi untuk menghentikan “pendarahan” (bleeding) di BII.

Mengetahui kondisi tersebut, IMF dan Bank Dunia mengajukan dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp.4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII sengan konsekuensi biaya Rp.5 triliun –itu sudah termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

Di mata Rizal Ramli, apa yang disodorkan IMF-Bank Dunia tersebut bukanlah untuk memecahkan masalah karena hasilnya sama-sama pahit, dan justru akan memunculkan masalah baru lagi.

Apalagi memang secara pribadi, sebelum masuk di pemerintahan, Rizal Ramli adalah sosok yang memang paling tidak setuju dengan pola penyelesaian masalah yang “gampangan” seperti itu, yakni pemecahan masalah yang hanya mengandalkan pemakaian uang negara dalam jumlah besar.

Bukankah memang sudah terbukti, bahwa rekapitalisasi belasan bank yang diamputasi tahun 1998, membebani keuangan negara hingga Rp.600 triliun? “Biaya penyelamatan bank yang dilakukan atas rekomendasi IMF-Bank Dunia itu merupakan yang terbesar di dunia. Dan itu pada akhirnya menjadi beban rakyat Indonesia,” tutur Rizal Ramli.

Ketika itu, Rizal Ramli mengaku tak ingin mengulangi cara-cara pejabat Indonesia di masa lalu, yang hanya selalu manggut-manggut dan melaksanakan rekomendasi atau saran yang diajukan oleh IMF-Bank Dunia. Apalagi kemudian pula terbukti, rekomendasi yang diberikan oleh kedua lembaga keuangan internasional itu bukannya menyembuhkan krisis ekonomi, tetapi malah kian membenamkan Indonesia ke jurang krisis yang amat dalam. Jadi, No IMF, No Bailout..!!!

Rizal Ramli pun berpikir untuk segera bergerak cepat mencari jalan keluar yang berbeda ketimbang menerima saran IMF-Bank Dunia. “BII kan bank yang bagus. Jaringan cabangnya luas, punya basis bisnis kartu kredit yang cukup besar, dan namanya juga cukup baik di mata nasabah,” ucap Rizal Ramli.

Akhirnya, solusi yang smart pun ditemukan Rizal Ramli pada hari Sabtu 30 Juni 2001 (17 hari setelah Rizal Ramli dilantik sebagai Menteri Keuangan). Dari situ (tanpa pemikiran dan tendensi politik), Rizal Ramli pun mengundang rapat Anwar Nasution, I Putu Gede Ary Suta, Kepala Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo, dan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe.

Dalam rapat itu, Rizal Ramli memaparkan gagasan atau skenario penyelamatan BII dengan cara “membuat berita”, yakni seakan-akan Bank Mandiri men-take over BII. “Tapi, saya tidak mau Bank Mandiri mengeluarkan duit serupiah pun untuk menyelamatkan BII. Langkah ini kita ambil untuk buying-time, mengulur waktu, sehingga kepanikan nasabah BII tidak kian menjadi-jadi,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli pun meminta dan mengarahkan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe untuk mengadakan konferensi pers mengenai pengambilalihan kepemilikan BII oleh Bank Mandiri. Nah, kata Rizal Ramli, jika publik tahu bank dengan aset paling besar di Indonesia itu berada di belakang BII, maka situasi yang muncul adalah para nasabah BII bisa menjadi tenang, sehingga serbuan nasabah bisa diredam.

Maka, pada Senin tanggal 2 Juli 2001, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe pun mengikuti arahan Rizal Ramli mengumumkan di hadapan Pers bahwa Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. “Kemungkinannya, 70 hingga 80 persen Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. Tapi, terlebih dulu akan dihitung harganya, kemudian tinggal tawar-menawar berapa harga yang pantas,” ujarnya Neloe dalam jumpa Pers di dampingi Menkeu Rizal Ramli, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, Ketua Bapepam Herwidayatmo, dan Dirut BII Hiroshi Tadano.

Para wartawan terus “mengejar” Neloe dengan berbagai pertanyaan tentang biaya yang akan dikeluarkan Bank Mandiri untuk mengambil oper BII; nasib pinjaman yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun yang macet; dan kaitannya dengan rencana Bank Mandiri go publik pada Oktober tahun 2001. Neloe menjawab semua pertanyaan wartawan tersebut dengan tangkas dan meyakinkan sesuai yang telah diarahkan Rizal Ramli kepadanya.

Tak hanya sampai di situ. Keesokan harinya, hasil konferensi pers difotokopi dan ditempel di papan pengumuman di seluruh di kantor BII, sehingga para nasabah yang datang ke semua kantor cabang dan cabang pembantu BII bisa mengetahui, bahwa BII kini di-back up secara penuh oleh Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia.

Dengan hanya langkah cerdik seperti itu, nasabah pun menjadi tenang, trust-nya berangsur-angsur pulih menyusul kepanikan yang mulai mereda. Bahkan para nasabah kembali bersemangat menyimpan uangnya di BII, karena kala itu BII menerapkan pemberian suku bunga ekstra 1-2 persen di atas suku bunga perbankan pada umumnya.

Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.

Kepada jajaran Direksi baru BII tersebut, Rizal Ramli ketika itu memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, tapi saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli dalam Prime Times News Metro-TV, Selasa (26/11/2013) .

Alhasil, dalam tempo satu setengah bulan, jajaran direksi baru itu pun mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur. Dan dengan solusi kebijakan inovatif yang diterapkan Rizal Ramli terhadap masalah BII itu nyatanya berhasil meredam krisis tanpa menimbulkan efek domino kepada bank lain. Juga tak kalah menariknya, Rizal Ramli mampu menyelesaikannya tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sungguh sebuah terobosan yang jitu. Dan itu hanya bisa dilakukan tanpa melibatkan pemikiran dan kepentingan politik “busuk” di dalamnya.

Dan inilah cara penyelamatan bank yang pernah dilakukan Rizal Ramli selaku Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur, tanpa memakai uang negara dalam jumlah besar sama sekali. Dan  penyelamatan bank tanpa bailout, tanpa BLBI seperti yang telah dilakukan Rizal Ramli tersebut belum pernah terjadi dalam sejarah perbankan Indonesia, kecuali dalam kasus BII.

Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp.4 Triliun sampai Rp.5 Triliun. Dengan model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli itu biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” ujar Rizal Ramli sambil tersenyum seraya menambahkan bahwa yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya tanpa membuka ruang politik di dalamnya.

No IMF…, No Bailout…, No Politically… maka No Problem…!!! (map/ams)
--------------
Salam Perubahan..!!!

Rabu, 30 Oktober 2013

Sejak Dulu Kadin Cuma Jadi “Kamar Dingin”. Makanya Lahir Kadin Perjuangan

[RR1online]:
DARI Orde Baru (Orba) hingga pada era reformasi saat ini, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih hanya cenderung dijadikan sebagai batu loncatan oleh para elit atau pengurusnya untuk mendapatkan proyek-proyek benilai gede. Dari situ tak jarang terjadi lobi-lobi dan persekongkolan anggaran dalam pembahasan di tingkat DPR.

Selanjutnya, siapa yang mampu menyuguhkan fee tebal, atau yang memiliki hubungan khusus (keluarga atau kerabat) dengan kepala daerah/kepala negara atau pejabat-pejabat berpengaruh lainnya, maka dipastikan dialah yang mendapat proyek tersebut.

Dan ini kemudian dimudahkan dengan munculnya calo-calo proyek seperti Bunda Putri, yang berperan sebagai sosok pionir yang diyakini mampu memuluskan urusan guna mendapatkan proyek sebagaimana yang diharapkan. Asalkan dapat didahului dengan deal-deal, maka tentu mantaplah langkah selanjutnya. Sedangkan pengusaha yang tak mampu atau enggan (pantang) melalui “proses” seperti itu tentunya harus lebih banyak gigit jari saja.

Soal pertimbangan layak (mampu) atau tidaknya mengerjakan proyek tersebut adalah urusan kedua belas buat para pengusaha yang hanya memburu keuntungan. Sehingga, tak usah heran jika proyek-proyek infrastruktur (seperti: jalan, jembatan, gedung perkantoran, sekolah, dan lain sebagainya) tak sedikit dikerjakan secara asal-asal tanpa memperhatikan kualitasnya.

Namun jika sudah seperti itu, maka akan memunculkan urusan ketiga belas, yakni pekerjaan rampung tetapi cepat rusak atau tidak dimanfaatkan sebagaimana penggunaannya. Misalnya, pembangunan terminal transportasi umum-darat atau pembangunan pasar di beberapa daerah seusai diresmikan malah tak difungsikan sebagaimana mestinya, lalu menjadi bangunan tua. Bahkan ada sejumlah pekerjaan yang terbengkalai atau tidak dirampungkan pekerjaannya karena pihak pelaksana kehabisan anggaran, yang memang sebelumnya telah tersedot untuk membayar fee sejumlah pihak.

Di sisi lain, Kadin sebagai organisasi pengusaha Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian, juga lebih banyak berposisi sebagai tamu di negeri sendiri. Kadin tak berkutik di hadapan pemerintah. Apa yang dikatakan dan yang menjadi selera pemerintah, maka itu pula yang diikuti dan dituruti oleh para petinggi Kadin. Termasuk ketika pemerintah lebih memilih untuk menyerahkan pekerjaan atau penguasaan lahan usaha bagi pihak (pengusaha) dari negara asing, Kadin tak bisa protes. Seakan jika berani protes, maka tak ada jatah proyek untuk para elit Kadin.

Sejauh ini, saya telah menghabiskan banyak waktu sebagai orang yang pernah aktif di dunia jurnalistik dengan sambil mengamati kondisi secara dekat, yang nampaknya memang selama ini telah terbangun sebuah kondisi “pembagian wilayah bisnis” — (lihat diagram 1 di bawah ini), yakni terdapat wilayah bisnis Kadin (A) dan wilayah bisnis pengusaha Asing (C).


Dari pengamatan saya menunjukkan, pemerintah (penguasa/pejabat) nampaknya telah mampu menciptakan  “lahan bisnis”, yakni dengan membuat “gerhana parsial” dari kedua lingkaran wilayah bisnis yang ada tersebut. Dari diagram 1 di atas, wilayah “gerhananya” (B-warna biru) cukup lebar yang menunjukkan sebagai “lahan basah” yang kiri-kanan-dan bawah OK. Dan inilah mungkin salah satu alasan mengapa banyak figur yang sangat bernafsu berlomba-lomba berpartai untuk menjadi penguasa daripada menjadi seorang pengusaha. Contohnya yang terjadi di Banten.

Diagram 1 di atas juga sekaligus secara amat sederhana dapat menjawab kebingungan kita tentang mengapa kondisi ekonomi umat di negeri ini masih tidak mengalami kemajuan signifikan. Meski memang banyak faktor lain yang mengakibatkan mengapa ekonomi bangsa ini tidak mengalami kemajuan, tetapi faktor-faktor lain itu cuma teori.

Karena pada kenyataannya, ekonomi negara yang subur ini telah dikondisikan oleh pemerintah seperti pada diagram 1 tersebut di atas. Yakni porsi jatah proyek dan penguasaan usaha untuk negara asing lebih besar dibanding jatah proyek untuk Kadin (itu pun cuma lebih banyak dinikmati oleh para elit Kadin). Kemudian perhatikan jatah buat rakyat (D) yang porsinya sangat kecil.

Porsi rakyat ini, misalnya dapat berupa bansos, bantuan permodalan UKM dan lain sebagainya. Namun porsi ini pun tak jarang dikebiri oleh oknum pemerintah maupun swasta yang tak bertanggung-jawab. Pernah dengar bansos disunat? Atau apa pernah mengetahui adanya pihak atau oknum karyawan bank yang juga ikut meminta fee atas pencairan modal usaha rakyat (nasabah)? Seperti itulah…!

Dan kondisi seperti ini sebetulnya sudah berlangsung sejak dulu, bahkan telah menjadi “budaya” yang sangat terpelihara di negeri ini. Sungguh, selama kondisi itu (seperti yang tergambar pada diagram 1 tersebut) tetap berlangsung, maka selama itu pula korupsi masih tetap terjadi.

Kadin sebetulnya sangat mengetahui jika selama ini telah terjadi kondisi ekonomi dan iklim usaha yang sangat tidak sehat (seperti kondisi pada diagram 1 tersebut). Tetapi Kadin tidak berani “melawan”, karena lagi-lagi ketergantungan para elite Kadin kepada pemerintah sangatlah besar. Harusnya Kadin berani “melawan” dengan segera melakukan terobosan mendasar. Misalnya, menentang keras seluruh regulasi maupun undang-undang yang dinilai justru bisa melemahkan ekonomi bangsa, lalu menyodorkan solusi-solusi yang dianggap lebih mampu mengangkat derajat ekonomi umat di negeri ini.

Sayangnya, para elite Kadin selama ini pula hanya kelihatannya lebih mendahulukan kepentingan dan urusannya sendiri-sendiri, yakni dengan melakukan pendekatan dan menjalin hubungan kekerabatan kepada para penentu kebijakan. Sementara pengusaha yang tergabung sebagai anggota atau pengurus biasa di Kadin (bukan elite), adalah terkesan hanya formalitas untuk pemenuhan syarat administrasi guna bertahan hidup, bukan kepada arah pengembangan bisnis usaha agar dapat menjadi lebih baik.

Selanjutnya, Kadin seharusnya bisa menciptakan dan menata kondisi baru yang lebih berpihak kepada seluruh anggotanya, karena dengan begitu juga sekaligus dapat dikatakan telah berpihak kepada rakyat. Sayangnya, Kadin pimpinan Suryo Bambang Sulisto (SBS) justru memecat sejumlah anggotanya. Padahal anggota-anggota tersebut diyakini sangat potensial untuk melakukan terobosan dan perubahan mendasar. Lalu dari sinilah terbaca ketidakmampuan SBS memimpin Kadin sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, terutama dalam pasal 3 dan pasal 7 dalam undang-undang tersebut.

Bukan cuma itu, dengan kondisi ekonomi bangsa dan negara yang berantakan serta tak jelas ke mana arahnya seperti saat ini adalah juga sekaligus menunjukkan, bahwa peran dan fungsi SBS di Kadin selama ini tidaklah maksimal, bahkan terindikasi hanya menyenangkan sejumlah pihak saja, termasuk menyamankan pemerintah/penguasa dan pejabat lainnya. Sehingga, di tangan SBS dan para pendahulunya nampaknya hanya membuat Kadin ibarat sebagai “Kamar Dingin= Kadin” yang begitu menyejukkan bagi para penguasa (bukan pengusaha yang tergabung dalam Kadin).  Misalnya dengan leluasanya dilakukan kegiatan impor dan lain sebagainya.

Dengan memahami seluruh kondisi ekonomi yang sangat tidak sehat saat ini, dan dengan mengetahui ketidakmampuan SBS menerapkan Undang-undang No.1 tahun 1987 tersebut, serta hanya seakan membuat Kadin sebagai Kamar Dingin yang sejuk dan hanya memanjakan pihak tertentu saja, maka tentu kita akan segera memahami apa sebetulnya yang menjadi keinginan Oesman Sapta Odang (OSO) serta Setiawan Djody dkk. Termasuk kita akan memahami mengapa OSO dan Setiawan Djody berhasil membentuk kepengurusan baru dalam Kadin yang lebih solid, kredibel, dan lebih memiliki integritas yang tinggi.

Masih ingat perseteruan dan konflik Megawati Sukarnoputri dalam tubuh PDI beberapa tahun silam? Yang dari situ Megawati tetap tidak terterima dalam PDI karena adanya intervensi dari pemerintah, tetapi kemudian Megawati berhasil membentuk kepengurusan PDI baru yang kemudian dikenal dengan nama PDI-Perjuangan.

Dan nampaknya, Kadin versi OSO juga akan mengalami “kisah” yang sama dengan kisah perseteruan Megawati tersebut, yakni boleh jadi Kadin kubu OSO yang kini dipimpin oleh Rizal Ramli sebagai Ketua Umumnya itu akan berubah nama menjadi KADIN-Perjuangan.

Dan tentu saja, KADIN-Perjuangan ini diyakini akan lebih hidup, karena selain dipenuhi oleh anggota-anggota yang memiliki jiwa perjuangan dan daya terobosan yang kuat, juga karena memang melalui Munas telah resmi dinakhodai oleh Rizal Ramli sebagai sosok yang tangguh dalam langkah-langkah dan pergerakan perjuangan perekonomian bangsa.

Selanjutnya, saya pun yakin, KADIN-Perjuangan yang dipimpin oleh mantan Menko Perekonomian itu pun akan segera melakukan langkah-langkah Perubahan yang lebih jelas dan terarah, yakni dengan membawa dan menjadikan KADIN-Perjuangan sebagai “Kamar Dinamis= Kadin” (bukan Kamar Dingin yang selama ini terjadi). Langkah-langkah perjuangan tersebut salah satunya dengan melakukan perubahan terhadap kondisi “pembagian porsi” ekonomi yang tidak sehat menjadi sangat sehat, misalnya saja pada diagram 2 di bawah ini yang saya sebut sebagai diagram  “tusuk sate”, yang bertindak sebagai “penusuk” dan sekaligus sebagai penopangnya adalah pemerintah. Dan silakan diterjemahkan lalu dibandingkan sendiri dengan diagram 1 dan diagram 2.