Selasa, 11 Maret 2014

Hanya Presiden “Berotak” Ekonomi yang Bisa Membuat Ekonomi Indonesia Jadi “Berotot”

[RR1online]:
HAMPIR 10 tahun pemerintahan SBY berlangsung, tetapi selama itu pula penanganan masalah ekonomi di negeri ini boleh dikata masih sangat memprihatinkan. Misalnya, ekonomi para petani kita yang kian hari makin nampak “terluka” akibat pemerintah yang lebih doyan melakukan impor terhadap seluruh komoditas pertanian. Sampai-sampai air  dan garam pun ikut diimpor oleh pemerintah. Sungguh menyedihkan..!!?!!

Juga dengan kekayaan alam pertambangan kita berupa migas, mineral, dan lain sejenisnya yang sejauh ini pula lebih diserahkan penguasaan pengelolaannya kepada pihak asing. Sampai-sampai hampir seluruh lembaga keuangan (bank) saat ini pun ikut dikuasai oleh pihak asing.

Sementara, rakyat Indonesia (sebagai tuan rumah) lebih banyak hanya dijadikan kuli dan bahkan babu di negeri sendiri. Sehingga jangan heran jika tak sedikit pula rakyat Indonesia kini lebih memilih menjadi “babu” di negeri orang sebagai TKI/TKW. Sungguh memilukan..!!??!!

Nilai Rupiah yang terus melemas, harga BBM yang dipaksakan naik di saat ekonomi rakyat belum mapan, membuat kemudian kenaikan harga-harga kebutuhan hidup pun makin mencekik leher dan perut rakyat.

Ke mana mengalir APBN yang jumlahnya hampir Rp.2.000 Triliun pertahun yang katanya adalah untuk rakyat itu..??? Sangat aneh, ketika rakyat tak henti-hentinya menjerit dan memohon agar pemerintah dapat segera mengambil langkah perbaikan ekonomi yang pro-rakyat, namun di saat bersamaan para pejabat malah sibuk memamerkan kemewahan: membangun rumah mewah, istri/suami dan anak-anak mereka masing-masing dibelikan mobil mewah, perhiasan mewah, pakaian mewah, hand-phone mewah, dan lain sebagainya. Apakah APBN/APBD selama ini memang hanya lebih banyak mengalir ke kantong para pejabat beserta para keluarganya, seperti yang terjadi di Banten…???

Sungguh pemerintahan yang berjalan selama hampir satu dekade ini hanya nampak berhasil membuka secara luas perbedaan status dan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, pribumi dan pihak asing, juga antara kelompok elit dan kelompok “liliput”.

Masalahnya, bukan karena si miskin dan pribumi (rakyat Indonesia) tidak punya kemampuan melakukan upaya maksimal berupa daya berkreasi, berinovasi, maupun berprestasi dalam memperbaiki diri. Masalah ini sebetulnya lebih terletak pada nilai keseriusan pemerintah (sebagai pihak yang diberi amanah), yakni hanya nampak setengah hati atau tidak sungguh-sungguh memberi peluang selebar-lebarnya kepada si miskin, pribumi , dan kelompok liliput guna kemajuan ekonomi mereka (sebagai pemberi amanah).

Memang betul, pemerintah sudah melakukan langkah-langkah pemberdayaan. Tetapi langkah-langkah itu boleh dikata hanya sebatas “tambal menambal ban bocor” saja, sehingga ketika berputar dan berjalan lalu menginjak “batu kerikil” saja, ban itu pun kembali bocor.

Dari sisi politik, tambal-menambal ban bocor ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai upaya (strategi) untuk tetap memiskinkan orang miskin agar ketika Pemilu masih ada banyak orang miskin yang bisa “disuap” guna memberikan suaranya.

Artinya, upaya tambal ban ini sekaligus hanya bisa disebut sebagai sebuah strategi “sinterklas” dari para parpor penguasa (incumbent), terlebih ketika menghadapi Pemilu/Pemilukada. Tentu saja tujuannya agar dapat kembali menjadi pemenang. Dan strategi seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh penguasa yang “berotak” politik.

Olehnya itu, rakyat harus segera bergegas “siuman” dan segera menyadari, bahwa masalah kita sesama rakyat selama ini sebetulnya adalah terletak pada kesulitan ekonomi yang belum bisa diatasi sampai saat ini oleh pemerintah. Sehingganya, dalam Pemilu 2014 ini, kita wajib melahirkan seorang Presiden yang “berotak” ekonomi (ahli ekonomi) agar dapat membuat ekonomi Rakyat Indonesia jadi “berotot”.

Jika ekonomi Indonesia bisa berotot, maka negara mana pun pasti akan sangat segan dan menghormati Indonesia. Tidak seperti sekarang, sudah rakyatnya banyak yang miskin, pejabatnya korupsi pula. Dan dalam kondisi seperti ini, negara sekecil mana pun akan memandang remeh dan rendah Indonesia. Intinya adalah otot-otot ekonomi harus segera bisa dibuat kekar.

Apabila ekonomi bangsa ini sudah kekar, maka perkara-perkara hukum dan politik tidak akan bisa diperjualbelikan lagi; para guru akan lebih giat mengajar dengan penghasilan yang memadai; petani dan nelayan akan bersemangat berproduksi secara melimpah karena nilai dan mata rantai pemasarannya telah jelas; para pelajar ketika tamat studi tak perlu lagi kuatir menjadi pengangguran atau TKI karena lapangan pekerjaan selalu terbuka luas di negeri sendiri; TNI dan Polri tak perlu repot lagi berhadapan dengan demonstran anarkis, atau cari-cari usaha “sampingan”.

Dan sekali lagi, postur ekonomi kita hanya bisa berotot jika Presiden kita mendatang adalah sosok yang berotak ekonomi. Yakni adalah sosok yang benar-benar memiliki pengalaman dan kemampuan di bidang penanganan pembangunan ekonomi, serta sosok yang punya rekam jejak memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat.

Dan dari semua sosok yang kini disebut-sebut akan maju bertarung dalam Pilpres 2014 ini, hanya ada satu sosok Capres yang benar-benar berotak ekonomi yang tak perlu lagi diragukan keahlian dan pemahamannya dalam hal mengangkat derajat dan martabat ekonomi bangsa, yakni adalah DR. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian, yang saat ini sebagai anggota penasehat ekonomi di badan dunia PBB.

Bukan masalah jika sampai saat ini Rizal Ramli tidak memiliki parpol. Justru dengan tidak berparpol, Rizal Ramli lebih layak dan pantas diberi dukungan penuh. Sebab dengan tidak berparpol, Rizal Ramli menunjukkan sebagai sosok yang benar-benar “murni lahir” dari rakyat, bukan dari parpol tertentu. Sehingga jika menjadi presiden (atau mungkin wakil presiden), maka Rizal Ramli tentunya lebih berpihak untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan parpol tertentu.

Jika hal ini disadari oleh rakyat dengan memilih Rizal Ramli sebagai sosok yang berotak ekonomi menjadi pemimpin di negeri ini, maka Indonesia diyakini akan menjadi negara digdaya karena memiliki ekonomi yang kekar dan berotot. Semoga Allah merestui dan mewujudkannya. Amin..!!!

Serahkan urusan atau masalah kepada ahlinya, jika tidak, maka tunggulah kehancuran. SALAM PERUBAHAN 2014…!!!
--------
Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 02 Maret 2014

Jika Rizal Ramli Presiden/Wapres, Kesepakatan Pasar Bebas AEC akan Direvisi

[RR1online] :
AGAR Indonesia tidak menjadi pasar empuk produk dan jasa negara-negara ASEAN, Indonesia harus berani mengambil langkah negosiasi ulang terhadap kerjasama pasar bebas negara-negara ASEAN Economic Community (AEC).

Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, DR. Rizal Ramli (RR1) pada acara Diskusi dan Seminar AEC 2015, yang bertajuk: “Peran Masyarakat dan Mahasiswa dalam Menghadapi Asean Economy Community 2015”, di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, Sabtu (1/3/2014).

Menurut RR1, Indonesia harus merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community-AEC (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). Pasalnya, kata RR1, tidak semua komoditas dan jasa kita mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN. Langkah ini harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

“Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar (sektor) lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan. Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan. Kalau jadi presiden, saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia,” urai Rizal Ramli yang kini menjadi Kandidat Capres terkuat di Konvensi Rakyat 2014.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini juga menerangkan, revisi skema kerjasama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi. “Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi ‘bulan-bulanan’ negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri,” ujar ekonom senior ini.

RR1 yang juga mantan Presiden Komisaris PT Semen Gresik ini menuturkan, bahwa yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah free trade (perdagangan bebas). Sebab, menurut RR1, membebaskan perdagangan antara negara berkembang dan maju, sama saja membiarkan (memaksakan) petinju seperti Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

“Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor,” tegas RR1 yang hingga kini tetap gigih memperjuangkan ekonomi konstitusi.

RR1 menunjuk sektor yang bisa dihadapi secara fight dan dibuka sebebas-bebasnya oleh Indonesia adalah di antaranya seperti sektor tekstil dan produk tekstil, serta sektor minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan kakao.
Sektor-sektor unggulan semacam itu, kata RR1, tentunya akan membuat Indonesia bisa disebut unggul dalam pasar bebas untuk kawasan ASEAN.

“Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja desain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian,” jelas RR1.

Hal lain yang dikemukakan RR1 yang juga mantan Menteri Keuangan itu adalah menyarankan, bahwa sebaiknya Indonesia tidak buru-buru meliberalisasi sektor keuangan. Bank-bank yang sepintas seperti kuat, ternyata meraih untung besar karena tingginya spread antara cost of money dengan suku bunga kredit. “Jika sektor keuangan dibebaskan, bisa dipastikan akan banyak menimbulkan masalah,” tutur RR1 yang saat menjabat menteri sempat berhasil menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa mengeluarkan uang negara serupiah pun.

-----
Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 09 Februari 2014

Impor Beras, “Lumbung Modal” untuk Ongkos Politik?

[RR1online]:
MASYARAKAT (terutama petani) kini makin geleng-geleng kepala, dan bertambah menduga bahwa pemerintahan SBY sepertinya amat dipenuhi dengan “permainan kotor” untuk pemenuhan keuntungan kelompok tertentu saja. Kecurigaan ini makin membesar saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah indikasi kejanggalan atas kebijakan impor beras dari Vietnam, belum lama ini.

Dari situ, kontroversi pun bermunculan. Tetapi publik nampaknya lebih banyak mencium: …jangan-jangan parpol penguasa  sedang melakukan “pengumpulan modal” untuk ongkos politik jelang Pemilu 2014???

Meski sudah ada upaya klarifikasi dari pemerintah, seperti dari Menkeu yang menyebut bahwa beras impor tersebut masuk ke Indonesia secara legal (bukan dengan penyelundupan). Tetapi sebagian besar publik memandang klarifikasi seperti itu tidak mampu menghilangkan kecurigaan terhadap kemunculan beras impor yang dinilai sangat aneh dan “misterius” itu.

Ekonom senior, DR Rizal Ramli (RR1), adalah salah satu pihak yang merasa sangat yakin dengan adanya ketidakberesan dan keanehan atas impor beras tersebut.

Selaku tokoh yang paling giat membela kepentingan rakyat, Rizal Ramli menyatakan, bahwa sangat aneh jika beras premium dimasukkan ke Indonesia dalam jumlah sangat banyak, padahal yang mengonsumsi beras tersebut jumlahnya tidak banyak. “Yang namanya beras khusus, ketan, premium kebutuhannya relatif kecil dibandingkan dengan total permintaan beras di Indonesia,” ujar RR1 di salah satu stasiun televisi, baru-baru ini.

Dijelaskannya, di saat beras-beras premium itu lebih banyak hanya dikonsumsi oleh kalangan-kalangan ekonomi menengah ke atas, maka sangat aneh jika di sisi lain Indonesia melakukan impor beras (premium) dalam jumlah besar.

RR1 menyatakan, selain hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya sistem monitoring di Departemen Perdagangan, juga izin impor beras premium itu diubah atau dimanipulasi dengan memasukkan beras medium (beras biasa). “Dan ini menunjukkan bahwa sistem control in-check tidak jalan (tidak dilaksanakan),” ujar Rizal Ramli.

Dari hasil uji laboratorium juga membuktikan bahwa beras impor yang beredar di pasaran itu nyatanya memang jenis khusus (premium), bukan medium. Tetapi karena disebut itu seolah-olah medium, maka harganya sangat murah. Sehingganya, harga jual dari petani akan terpaksa (mau tak mau) harus bisa jauh lebih murah jika ingin laku. Dan ini sama saja membuat petani jadi makin menderita di “rumah sendiri”.

“Menurut saya, ini tidak ruwet-ruwet amat kok buat diperiksa. Kalau diperiksa yang betul akan ketahuan siapa saja pemainnya, apa motifnya, keuntungannya berapa?” tutur RR1.

Dan ini, menurut RR1, bukan persaingan (kompetisi) antar pedagang. Sebab, persaingan dagang tidak harus selisih sampai loncat Rp.2 ribu. “Kalau hanya kompetisi itu selisih harganya paling cuma Rp10 hingga Rp30. Tetapi kalau selisih harganya sudah mencapai hingga Rp.2.000 atau Rp.3.000 ribu, maka pasti ada aspek manipulatifnya memasukkan barang impor yang tidak diizinkan,” ujar RR1.

Mantan Menko Perekonomian ini pun memprediksi, keuntungan dari permainan ini sekitar Rp.2 ribu hingga Rp.3 ribu perkilo, atau antara sekitar $2 ribu sampai $ 3ribu perton. “Kalau dikalikan (dengan) nyaris 200 ribu ton, (maka) paling tidak 40 juta dollar atau 400 miliar,” katanya.

Ditanyakan seputar siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini, RR1 menanggapi, bahwa memang biasa terjadi saling melempar tanggungjawab antar-departemen. Tetapi, kata RR1, di sinilah peranan seharusnya dari Menko Perekonomian untuk meneliti di mana saja pola permainannya.

“Dan menurut saya ada hal yang lebih besar, (yakni) kebijakan khusus impor pangan itu harus segera dikurangi dan dihentikan. Tidak masuk akal negara sekaya Indonesia, banyak hujan, tanahnya luas, tapi harus melakukan impor pangan. Motifnya kebanyakan bukan karena kebutuhan sungguh-sungguh dari konsumen di Indonesia, tetapi motifnya karena ada komisi ada feed-back yang mencapai jumlah triliunan kalau misalnya dilakukan impor hingga 2 juta ton.  Seharusnya dalam kondisi yang memiliki lahan dan tanah luas serta subur, Indonesia semestinya menjadi negara eksportir,” jelasnya.

Rizal Ramli yang kini juga sedang digodok sebagai Capres ideal 2014 oleh Komite Konvensi Rakyat ini, lebih dalam menyebutkan adanya semacam trik untuk mendapatkan biaya politik di Indonesia sejak zaman dulu, biasanya dikumpulkan: 1). Dari perdagangan dan impor beras, dan impor pangan lainnya; 2). Dari perdagangan minyak bumi dan gas; serta 3). Dari merampok bank, seperti Bank Century.

Pembelian beras (impor) selalu menjadi pilihan. Karena, ungkap RR1,  selain mudah dilakukan dengan cara, misalnya, rakyat atau bangsa kita yang gampang ditakut-takuti, bahwa jika tidak segera melakukan impor maka rakyat akan kekurangan pangan dan sebagainya.

“Padahal sebetulnya, tidak ada kebutuhan mendesak untuk impor. Tetapi setiap tahun terus impor 2 juta ton. Dari impor sebesar itu bisa mencapai sekitar Rp.3 Triliun hingga Rp.4 Triliun sebagai komisi (fee) yang dibagi-bagi buat mereka yang terlibat dalam permainan impor tersebut,” ujar RR1.

Terlepas dari itu, mantan Kabulog era Presiden Gus Dur ini juga menawarkan alternatif solusi agar Indonesia benar-benar bisa menjadi lumbung pangan, dan tidak lagi ada impor beras yang hanya patut diduga sebagai “lumbung modal” untuk ongkos politik parpol penguasa.

“Sebetulnya ada cara yang lebih mudah (agar tidak lagi impor). Kita bangun 4 waduk dan sistem irigasi sepanjang Sulawesi Selatan, Indonesia akan surplus beras 2 juta-3 juta ton dalam waktu kurun dari 2-3 tahun. Aneh, BPS katakan surplus, (tapi) kok tiap tahun impor?” pungkas penasehat ekonomi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ini.(map/ams)
------------
Sumber: Kompasiana

Minggu, 05 Januari 2014

2014: SBY dkk Mulai “Main Licik”? Waspadalah!


[RR1online]:
PENGHUJUNG Desember 2013 yang baru lalu, terkait Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), masyarakat ramai-ramai menolak Perpres No 105/2013 tentang Pelayanan Kesehatan Paripurna kepada Menteri dan Pejabat Tertentu, juga Perpres Nomor 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Pimpinan Lembaga Negara.

Presiden SBY pada penghujung Desember itu juga kemudian membatalkan kedua Perpres yang telah “terlanjur” ditandatanganinya tersebut, dengan alasan karena masyarakat protes. Laahhh…. Kenaikan harga BBM kemarin juga diprotes oleh rakyat secara frontal, tetapi kok SBY tidak membatalkannya…??? Mengapa Perpres dengan mudahnya dibatalkan…??? Ada apa…??? Ditahan dulu, sebentar kita coba jawab…!!!

Karena saat ini, kita lagi-lagi “dipaksa” untuk sama-sama “terlibat” dalam sebuah masalah, yakni tentang gas elpiji 12 Kg yang (tiba-tiba) mengalami kenaikan harga sebesar 68%.

Kabarnya, kenaikan elpiji tersebut “katanya” merupakan inisiatif (korporasi) PT Pertamina Tbk tanpa perlu meminta izin pemerintah. Artinya, pemerintah tidak punya kewenangan untuk mengintervensi harga itu, kecuali untuk elpiji subsidi. Tetapi ini akan menjadi aneh jika harus dinaikkan secara “tergesa-gesa” di saat ekonomi rakyat belum bisa dipulihkan oleh Pemerintah???

Artinya, dengan kondisi Pemerintah yang belum bisa memulihkan ekonomi rakyat seperti saat ini, Pertamina setidaknya harus melakukan konsultasi kepada Pemerintah tentang rencananya untuk menaikkan harga elpiji. Sebab, saat ini elpiji adalah salah satu kebutuhan yang sangat mendasar bagi rakyat dalam upaya pembentukan ekonominya. Misalnya, bagi para usaha kuliner dan lain sebagainya.

Sehingga dengan kenaikan harga elpiji tersebut, maka tentunya secara psikologis bisa dipastikan rakyat akan amat kecewa dan gusar, lalu melakukan penolakan. Bahkan sebagiannya tentu akan menghujat SBY. Dan ujung-ujungnya akan bisa memicu timbulkan gejolak perlawanan terhadap pemerintah.

Dan saya pikir, tidaklah mungkin SBY maupun Pertamina jika tidak memahami akan kondisi psikologis rakyat seperti itu. Saya malah sangat yakin, SBY amatlah memahami efek domino maupun dampak buruk yang akan timbul atas kenaikan harga elpiji tersebut. Lalu mengapa harga elpiji itu terkesan dipaksakan dinaikkan? Dan apa pula hubungannya dengan Perpres tadi?

Secara ekonomi memang sangat jauh hubungannya. Tetapi secara politik, kedua hal itu sangat erat hubungannya karena bisa membangun pencitraan positif sekaligus dapat memulihkan kembali image negatif publik kepada kepemimpinan SBY.

SBY sepertinya sangat cerdas, juga licik. Selaku pemerintah, ia seakan sengaja melempar bola panas atau pun masalah kepada rakyat. Lalu ia pula yang tampil mendinginkan masalah tersebut dengan memunculkan diri seakan-akan sebagai pahlawan pembela rakyat dengan cara mencabut Perpres tersebut.

Dan begitu pun nantinya dengan persoalan elpiji 12 Kg tersebut. Di saat rakyat sudah dilihatnya berkecamuk secara hebat menolak kenaikan harga elpiji, maka di saat itu pula SBY akan tampil untuk “memerintahkan” Pertamina agar segera membatalkan kenaikan elpiji tersebut. Hal ini kemungkinan akan dilakukan SBY agar publik bisa langsung menilainya sebagai pemimpin yang pro-rakyat.

Padahal boleh jadi, kedua hal tersebut hanyalah akal-akalan SBY demi meraih citra positif. Karena sangat mustahil rasanya apabila seorang SBY tidak mampu memikirkan kemungkinan-kemungkinan akan munculnya penolakan rakyat atas Perpres maupun dengan kenaikan elpiji tersebut.

Namun jika memang SBY tidak sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka rakyat tak salah apabila menilai SBY adalah pemimpin yang tak memiliki kepekaan terhadap dampak yang ditimbulkan dari sebuah kebijakannya sendiri.

Tetapi sekali lagi, itu tidak mungkin. Tidak mungkin SBY tidak memikirkan itu. Saya yakin SBY sudah sangat paham, bahwa Perpres tadi dan kenaikan elpiji itu adalah dua hal yang termasuk menyakiti hati dan mencekik ekonomi rakyat, sehingga rakyat tentu akan menolaknya dengan hebat.

Artinya, SBY pastilah bisa memikirkan dan memahami, bahwa Perpres dan kenaikan harga elpiji itu tentu akan ditolak habis-habisan oleh rakyat. Dan justru karena sangat memahami akan memunculkan gejolak hebat itulah sehingga boleh jadi SBY sengaja menggulirkannya ke tengah-tengah masyarakat. Lalu SBY pula kemudian yang tampil menolaknya agar rakyat memberinya jempol sebagai pemimpin pembela rakyat. Dan nampaknya, seperti inilah strategi SBY dalam “membersihkan diri” atas pandangan kotor dari publik selama ini terhadap dirinya.

Strategi seperti itu adalah memang satu-satunya cara instan yang biasa ditempuh oleh seorang penguasa ketika pemerintahannya telah dinilai gagal menjelang akhir jabatannya, atau di saat mendekati pelaksanaan Pemilu.

Sebab, untuk menuntaskan masalah-masalah negara yang ada saat ini rasanya memang sudah sangat kecil kemungkinan untuk bisa diselesaikan dalam waktu dekat ini, seperti memulihkan ekonomi, memperkuat nilai rupiah, menurunkan angka kemiskinan, korupsi, penguasaan SDA oleh negara asing, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan berhasilnya mencabut Perpres yang ditolak oleh publik, juga dengan persoalan kenaikan harga elpiji yang nantinya akan dicabut oleh Pertamina karena desakan sejumlah parpol di Senayan (termasuk PD, Golkar, dan lain sebagainya), maka nama SBY bersama para parpol koalisinya pun kembali mendapat sanjungan dari rakyat. Dan beginilah kiranya mereka melakukan “tancap gas” menuju Pemilu 2014.

Mari kita simak teriakan parpol penguasa beserta sejumlah koalisinya terhadap kenaikan harga elpiji itu.

Seperti dilansir metrotvnews, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menuturkan, pihaknya kecewa terhadap keputusan Pertamina yang menaikkan harga gas elpiji 12 kg secara sepihak tanpa konfirmasi ke DPR. “DPR hari ini reses, tiba-tiba saja diumumkan kenaikan elpiji. Ini keputusan yang kurang ajar,” tutur Priyo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (4/1).

Lalu dikutip satu sumber. Di awal tahun baru 2014 ini, rakyat Indonesia lagi-lagi harus menghadapi kenyataan yang pahit akibat buruknya manajemen energi dan sumber daya alam mineral dari kementrian ESDM yang dipimpin oleh Jero Wacik. Menanggapi hal tersebut Ketua DPP PKS Bidang Humas Mardani Ali Sera mengatakan kebijakan tersebut menciderai masyarakat. “Kenaikan Harga LPG Menciderai Semangat Menyayangi Masyarakat” ujar Mardani kepada PKS Cibitung dalam pesan singkatnya Sabtu (4/1) siang.

Kemudian Sekjen Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono mengatakan, pihaknya menolak keputusan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram. Pasalnya, kenaikan tersebut akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Saat harga BBM dinaikan tahun lalu, inflasi atau harga-harga kebutuhan pokok turut naik. “Kondisi seperti ini jangan sampai terulang lagi dan jangan ada kebijakan apapun yang justru bisa memicu kenaikan harga kebutuhan pokok,” tambahnya, sebagaimana dilansir metrotvnews. (Menurut saya ini statemen paling aneh dan menggelitik)

Dan ini lebih aneh lagi. Bahwa pihaknya (pihak Ibas) mendesak pemerintah segera membuat perubahan, paling tidak tetap membuat ekonomi stabil, stabilitas harga harus terus terjaga dan tidak membebani rakyat. “Ini kebijakan korporat (Pertamina) dan kami yakin rencana kenaikan harga elpiji ini tidak dilaporkan kepada Presiden,” kata Ibas.

Atas semua hal tersebut di atas, sebagai sesama rakyat (tidak termasuk elit dan kader parpol koalisi penguasa), saya mengimbau untuk waspada terhadap gerakan-gerakan pemerintah beserta para parpol koalisinya saat ini. Sebab, apapun yang dilakukan oleh pemerintahan SBY saat ini bersama koalisinya, itu patut diduga adalah hanya untuk kepentingan dan keuntungan kelompok partainya masing-masing pada Pemilu 2014 mendatang. Bohong kalau TIDAK...!!!

Sebab sekali lagi, sangat aneh dan amat geli rasanya jika parpol penguasa beserta koalisinya hari ini (2014) mulai ikut berteriak menolak kenaikan harga elpiji dengan alasan karena hanya membenani rakyat. Laahh.. saat kenaikan harga BBM kok pada ngotot mendukung…??? Tetapi pertanyaan ini sangat gampang dijawab. Yakni, karena sudah mendekati Pemilu 2014..! Semuanya pada cari dan setor muka kepada rakyat sebagai pemilik suara dalam Pemilu..!!
------------
Sumber: Kompasiana