Minggu, 02 Maret 2014

Jika Rizal Ramli Presiden/Wapres, Kesepakatan Pasar Bebas AEC akan Direvisi

[RR1online] :
AGAR Indonesia tidak menjadi pasar empuk produk dan jasa negara-negara ASEAN, Indonesia harus berani mengambil langkah negosiasi ulang terhadap kerjasama pasar bebas negara-negara ASEAN Economic Community (AEC).

Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, DR. Rizal Ramli (RR1) pada acara Diskusi dan Seminar AEC 2015, yang bertajuk: “Peran Masyarakat dan Mahasiswa dalam Menghadapi Asean Economy Community 2015”, di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, Sabtu (1/3/2014).

Menurut RR1, Indonesia harus merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community-AEC (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). Pasalnya, kata RR1, tidak semua komoditas dan jasa kita mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN. Langkah ini harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

“Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar (sektor) lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan. Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan. Kalau jadi presiden, saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia,” urai Rizal Ramli yang kini menjadi Kandidat Capres terkuat di Konvensi Rakyat 2014.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini juga menerangkan, revisi skema kerjasama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi. “Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi ‘bulan-bulanan’ negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri,” ujar ekonom senior ini.

RR1 yang juga mantan Presiden Komisaris PT Semen Gresik ini menuturkan, bahwa yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah free trade (perdagangan bebas). Sebab, menurut RR1, membebaskan perdagangan antara negara berkembang dan maju, sama saja membiarkan (memaksakan) petinju seperti Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

“Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor,” tegas RR1 yang hingga kini tetap gigih memperjuangkan ekonomi konstitusi.

RR1 menunjuk sektor yang bisa dihadapi secara fight dan dibuka sebebas-bebasnya oleh Indonesia adalah di antaranya seperti sektor tekstil dan produk tekstil, serta sektor minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan kakao.
Sektor-sektor unggulan semacam itu, kata RR1, tentunya akan membuat Indonesia bisa disebut unggul dalam pasar bebas untuk kawasan ASEAN.

“Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja desain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian,” jelas RR1.

Hal lain yang dikemukakan RR1 yang juga mantan Menteri Keuangan itu adalah menyarankan, bahwa sebaiknya Indonesia tidak buru-buru meliberalisasi sektor keuangan. Bank-bank yang sepintas seperti kuat, ternyata meraih untung besar karena tingginya spread antara cost of money dengan suku bunga kredit. “Jika sektor keuangan dibebaskan, bisa dipastikan akan banyak menimbulkan masalah,” tutur RR1 yang saat menjabat menteri sempat berhasil menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa mengeluarkan uang negara serupiah pun.

-----
Sumber: KOMPASIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar