Rabu, 18 Desember 2013

Rizal Ramli: Indonesia Terjebak dalam WTO

[RR1online]:
DALAM Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO pada 3-6 Desember 2013 di Bali kembali menegaskan bahwa liberalisasi yang menjadi agenda perjanjian dalam WTO bertolak belakang dengan cita-cita keadilan sosial.

Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli menilai, bahwa bergabungnya Indonesia dengan WTO selama sembilan belas tahun kebelakang arahnya hanya menuju ke neoliberalisme, dan sudah sangat menjauh dari cita-cita nasional.

Pertemuan KTM-9 WTO dengan tiga agenda fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture) adalah upaya negara-negara maju untuk memperluas krisis di Indonesia dengan mengeksploitasi kekayaan alam atas nama investasi besar-besaran, dan bahkan memukul lalu merontokkan produk pangan lokal atas nama serbuan pangan impor serta upaya pelepasan peran negara dengan mencabut subsidi pertanian.

Dampak dari semua itu tentu saja adalah pemiskinan strukutural yang masif karena lemahnya akses terhadap sumber kekayaan alam yang diliberalisasi.

Dan liberalisasi tersebut terbukti semakin menyengsarakan kehidupan petani, buruh, masyarakat adat, nelayan dan rakyat kecil lainnya. Salah satu misalnya, adalah liberalisasi sumber agraria juga telah melahirkan konflik agraria struktural yang makim masif.

Libido negara maju yang menghendaki negara berkembang mencabut subsidi pertanian adalah bukti bahwa negara maju menginginkan masuknya negara berkembang dalam skema perdagangan bebas yang liberal.

Di negara maju sendiri teknologi dan keahlian serta modal mendorong perkasanya sektor pertanian negara maju, sementara negara maju meminta negara berkembang untuk menghilangkan peran pemerintah dalam melindungi petani lokal dan mencabut subsidi pertaniannya. Negara maju juga terbukti memberi subsidi yang begitu besar bagi petaninya, AS tercatat menngelontorkan sekitar US$ 130 M (2010) sementara di Eropa US$ 106 M (2009). Sementara Indonesia hanya menganggarkan 2.5% dari total anggaran dalam RAPBN 2014.

Sejak Indonesia bergabung dengan WTO yang ditandai dengan ratifikasi perjanjian pembentukan WTO pada November 1994 melalui Undang-undang No.7/1994 Indonesia telah terjebak dalam skema liberalisasi perdagangan dan upaya penghilangan peran-peran negara dalam memproteksi ekonomi nasional.

Pemerintah sejak saat itu telah menciptakan sebuah lingkungan mendukung liberalisasi perdagangan seperti penurunan tarif serta menghapuskan hambatan impor. Secara terang benderang praktek liberalisasi yang menjadi resep badan internasional bernama WTO antara lain: Perluasan Akses Pasar dan Mekanisme Pasar; Harmonisasi Tarif; Most Favoured Nations (MFN); National Treatment (NT); Penghapusan Restriksi Kuantitatif dan Liberalisasi Progresif telah mengamputasi kedaulatan ekonomi nasional.

Hingga saat ini WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sehingga itu, perjanjian ‘Bali Package’ yang disepakati dalam forum konfrensi tingkat menteri (KTM) WTO di Bali beberapa waktu lalu itu, menurut Rizal Ramli, adalah sebetulnya makin menunjukkan sikap Indonesia yang pro-kepentingan negara maju.

“Indonesia nggak jelas karena selalu berjuang demi kepentingan negara maju,” ujar Rizal Ramli, Capres paling ideal itu pada sela-sela diskusi Pekan Politik Kebangsaan bertajuk ‘DPR Dambaan Rakyat’ di Gedung ICIS, Jakarta, Rabu (11/12).

Di lain pihak, Rizal Ramli yang kini juga selaku Ketua Umum Kadin  itu menyatakan kekagumannya pada India dan Brazil karena mau menolak kebijakan pengaturan subsidi pertanian oleh WTO tersebut, karena urusan pangan menyangkut nasib miliaran orang warga negaranya.

“Sedangkan Indonesia, apalagi zamannya Mari Elka Pangestu (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) itu diperjuangkan sekali kepentingan asing,” pungkas Rizal Ramli yang juga dikenal sebagai Capres paling giat melawan korupsi.(map/ams)

Jumat, 29 November 2013

No Problem: No IMF, No Bailout, No Politically!! (Pengalaman Rizal Ramli Selamatkan Bank)


Jakarta, [RR1online]:
AWAL Juli 2001, akibat dari imbas krisis 1998, pemerintah masih menghadapi situasi yang amat pelik. Salah satunya adalah dengan munculnya rush yang dialami Bank Internasional Indonesia (BII), yakni sebuah potensi yang tak kecil timbulnya krisis ekonomi nasional.
   
Ketika itu, BII sebagai bank yang sahamnya 100% telah dikuasai oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tiba-tiba diserbu nasabah. Mereka menarik dana simpannya di BII seiring dengan mencuatnya kontroversi kredit yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun.

Kredit yang disalurkan kepada kelompok usaha yang dipimpin konglomerat, Eka Tjipta Widjaya – pemilik lama saham BII – itu dikabarkan masuk kategori lima, alias macet total.

Kondisi tersebut tentu saja memancing isu miring: BII kesulitan likuiditas. Kondisi inil pula kemudian yang membuat nasabah BII mulai panik, lalu menarik simpanan mereka. Jumlah dana yang ditarik semula cuma puluhan miliar rupiah. Belakangan, kepercayaan nasabah terhadap BII kian goyah, sehingga pemilik duit pun ramai-ramai menarik hingga mencapai Rp.500 miliar.

Dapat digambarkan, situasi saat itu sudah mengalami lampu merah, alias dangerous! Sebab, jika tak segera diatasi, maka bukan cuma BII sendiri, melainkan juga bagi perbankan nasional secara keseluruhan akan kena imbasnya (efek domino). Artinya, jika rush terhadap BII terus berlanjut, maka akan muncul efek domino: yakni bank-bank lain akan ikut kena getahnya, diserbu nasabah yang juga panik menarik dananya. Yang pada akhirnya, krisis ekonomi pun tak bisa dihindari.

Tapi untung saja, Rizal Ramli sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) ketika itu, sungguh amat jeli melihat gelagat buruk yang dipicu oleh rush bank tersebut.

Rapat maraton pun segera digelar, melibatkan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Bank Indonesia Anwar Nasution, pejabat tinggi Departemen Keuangan dan staf Menko Perekonomian. Tujuannya, mencari solusi untuk menghentikan “pendarahan” (bleeding) di BII.

Mengetahui kondisi tersebut, IMF dan Bank Dunia mengajukan dua usulan untuk menghentikan rush di BII. Pertama, merekapitalisasi ulang BII yang memerlukan suntikan dana segar Rp.4,2 triliun. Kedua, melikuidasi BII sengan konsekuensi biaya Rp.5 triliun –itu sudah termasuk biaya untuk mengganti dana pihak ketiga dan biaya pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan BII.

Di mata Rizal Ramli, apa yang disodorkan IMF-Bank Dunia tersebut bukanlah untuk memecahkan masalah karena hasilnya sama-sama pahit, dan justru akan memunculkan masalah baru lagi.

Apalagi memang secara pribadi, sebelum masuk di pemerintahan, Rizal Ramli adalah sosok yang memang paling tidak setuju dengan pola penyelesaian masalah yang “gampangan” seperti itu, yakni pemecahan masalah yang hanya mengandalkan pemakaian uang negara dalam jumlah besar.

Bukankah memang sudah terbukti, bahwa rekapitalisasi belasan bank yang diamputasi tahun 1998, membebani keuangan negara hingga Rp.600 triliun? “Biaya penyelamatan bank yang dilakukan atas rekomendasi IMF-Bank Dunia itu merupakan yang terbesar di dunia. Dan itu pada akhirnya menjadi beban rakyat Indonesia,” tutur Rizal Ramli.

Ketika itu, Rizal Ramli mengaku tak ingin mengulangi cara-cara pejabat Indonesia di masa lalu, yang hanya selalu manggut-manggut dan melaksanakan rekomendasi atau saran yang diajukan oleh IMF-Bank Dunia. Apalagi kemudian pula terbukti, rekomendasi yang diberikan oleh kedua lembaga keuangan internasional itu bukannya menyembuhkan krisis ekonomi, tetapi malah kian membenamkan Indonesia ke jurang krisis yang amat dalam. Jadi, No IMF, No Bailout..!!!

Rizal Ramli pun berpikir untuk segera bergerak cepat mencari jalan keluar yang berbeda ketimbang menerima saran IMF-Bank Dunia. “BII kan bank yang bagus. Jaringan cabangnya luas, punya basis bisnis kartu kredit yang cukup besar, dan namanya juga cukup baik di mata nasabah,” ucap Rizal Ramli.

Akhirnya, solusi yang smart pun ditemukan Rizal Ramli pada hari Sabtu 30 Juni 2001 (17 hari setelah Rizal Ramli dilantik sebagai Menteri Keuangan). Dari situ (tanpa pemikiran dan tendensi politik), Rizal Ramli pun mengundang rapat Anwar Nasution, I Putu Gede Ary Suta, Kepala Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) Herwidayatmo, dan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe.

Dalam rapat itu, Rizal Ramli memaparkan gagasan atau skenario penyelamatan BII dengan cara “membuat berita”, yakni seakan-akan Bank Mandiri men-take over BII. “Tapi, saya tidak mau Bank Mandiri mengeluarkan duit serupiah pun untuk menyelamatkan BII. Langkah ini kita ambil untuk buying-time, mengulur waktu, sehingga kepanikan nasabah BII tidak kian menjadi-jadi,” kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli pun meminta dan mengarahkan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe untuk mengadakan konferensi pers mengenai pengambilalihan kepemilikan BII oleh Bank Mandiri. Nah, kata Rizal Ramli, jika publik tahu bank dengan aset paling besar di Indonesia itu berada di belakang BII, maka situasi yang muncul adalah para nasabah BII bisa menjadi tenang, sehingga serbuan nasabah bisa diredam.

Maka, pada Senin tanggal 2 Juli 2001, Dirut Bank Mandiri ECW Neloe pun mengikuti arahan Rizal Ramli mengumumkan di hadapan Pers bahwa Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. “Kemungkinannya, 70 hingga 80 persen Bank Mandiri akan mengakuisisi BII. Tapi, terlebih dulu akan dihitung harganya, kemudian tinggal tawar-menawar berapa harga yang pantas,” ujarnya Neloe dalam jumpa Pers di dampingi Menkeu Rizal Ramli, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, Ketua Bapepam Herwidayatmo, dan Dirut BII Hiroshi Tadano.

Para wartawan terus “mengejar” Neloe dengan berbagai pertanyaan tentang biaya yang akan dikeluarkan Bank Mandiri untuk mengambil oper BII; nasib pinjaman yang diberikan BII kepada Grup Sinar Mas sebesar Rp.12 triliun yang macet; dan kaitannya dengan rencana Bank Mandiri go publik pada Oktober tahun 2001. Neloe menjawab semua pertanyaan wartawan tersebut dengan tangkas dan meyakinkan sesuai yang telah diarahkan Rizal Ramli kepadanya.

Tak hanya sampai di situ. Keesokan harinya, hasil konferensi pers difotokopi dan ditempel di papan pengumuman di seluruh di kantor BII, sehingga para nasabah yang datang ke semua kantor cabang dan cabang pembantu BII bisa mengetahui, bahwa BII kini di-back up secara penuh oleh Bank Mandiri, bank terbesar di Indonesia.

Dengan hanya langkah cerdik seperti itu, nasabah pun menjadi tenang, trust-nya berangsur-angsur pulih menyusul kepanikan yang mulai mereda. Bahkan para nasabah kembali bersemangat menyimpan uangnya di BII, karena kala itu BII menerapkan pemberian suku bunga ekstra 1-2 persen di atas suku bunga perbankan pada umumnya.

Direksi BII, dengan Dirut Harashi Tadano langsung diganti dengan bankir gemblengan Bank Mandiri, Cholil Hasan sebagai ketua Tim Pergelola, dibantu oleh Arman B. Arif (sebagai Wakil Ketua, eks Vice President Bank Danamon), Sukatmo Padmosukarso (juga dari Bank Mandiri) dan sejumlah bankir yang berasal dari BII sendiri.

Kepada jajaran Direksi baru BII tersebut, Rizal Ramli ketika itu memberikan target waktu untuk membenahi BII hingga bisa segar bugar kembali. “Saya minta direksi baru bisa menyelesaikan problem yang dihadapi BII dalam waktu tiga bulan. Kalau tiga bulan tidak beres, bukan hanya Anda semua, tapi saya juga harus lengser sebagai Menteri Keuangan dan mencari pekerjaan lain!” kata Rizal Ramli dalam Prime Times News Metro-TV, Selasa (26/11/2013) .

Alhasil, dalam tempo satu setengah bulan, jajaran direksi baru itu pun mampu membawa BII keluar dari krisis kepercayaan yang nyaris membuat bank ini tersungkur. Dan dengan solusi kebijakan inovatif yang diterapkan Rizal Ramli terhadap masalah BII itu nyatanya berhasil meredam krisis tanpa menimbulkan efek domino kepada bank lain. Juga tak kalah menariknya, Rizal Ramli mampu menyelesaikannya tanpa perlu merogoh kocek pemerintah sepeser pun! Sungguh sebuah terobosan yang jitu. Dan itu hanya bisa dilakukan tanpa melibatkan pemikiran dan kepentingan politik “busuk” di dalamnya.

Dan inilah cara penyelamatan bank yang pernah dilakukan Rizal Ramli selaku Menteri Keuangan di era Presiden Gus Dur, tanpa memakai uang negara dalam jumlah besar sama sekali. Dan  penyelamatan bank tanpa bailout, tanpa BLBI seperti yang telah dilakukan Rizal Ramli tersebut belum pernah terjadi dalam sejarah perbankan Indonesia, kecuali dalam kasus BII.

Bayangkan, jika pemerintah mengikuti saran IMF-Bank Dunia, keuangan negara tentu akan jebol antara Rp.4 Triliun sampai Rp.5 Triliun. Dengan model penyelamatan yang dilakukan Rizal Ramli itu biayanya sangat murah. “Cuma keluar biaya PR (public relations),” ujar Rizal Ramli sambil tersenyum seraya menambahkan bahwa yang penting kita bisa bergerak cepat menangkap core issue-nya. Lalu melakukan koordinasi untuk mengatasinya tanpa membuka ruang politik di dalamnya.

No IMF…, No Bailout…, No Politically… maka No Problem…!!! (map/ams)
--------------
Salam Perubahan..!!!

Rabu, 30 Oktober 2013

Sejak Dulu Kadin Cuma Jadi “Kamar Dingin”. Makanya Lahir Kadin Perjuangan

[RR1online]:
DARI Orde Baru (Orba) hingga pada era reformasi saat ini, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih hanya cenderung dijadikan sebagai batu loncatan oleh para elit atau pengurusnya untuk mendapatkan proyek-proyek benilai gede. Dari situ tak jarang terjadi lobi-lobi dan persekongkolan anggaran dalam pembahasan di tingkat DPR.

Selanjutnya, siapa yang mampu menyuguhkan fee tebal, atau yang memiliki hubungan khusus (keluarga atau kerabat) dengan kepala daerah/kepala negara atau pejabat-pejabat berpengaruh lainnya, maka dipastikan dialah yang mendapat proyek tersebut.

Dan ini kemudian dimudahkan dengan munculnya calo-calo proyek seperti Bunda Putri, yang berperan sebagai sosok pionir yang diyakini mampu memuluskan urusan guna mendapatkan proyek sebagaimana yang diharapkan. Asalkan dapat didahului dengan deal-deal, maka tentu mantaplah langkah selanjutnya. Sedangkan pengusaha yang tak mampu atau enggan (pantang) melalui “proses” seperti itu tentunya harus lebih banyak gigit jari saja.

Soal pertimbangan layak (mampu) atau tidaknya mengerjakan proyek tersebut adalah urusan kedua belas buat para pengusaha yang hanya memburu keuntungan. Sehingga, tak usah heran jika proyek-proyek infrastruktur (seperti: jalan, jembatan, gedung perkantoran, sekolah, dan lain sebagainya) tak sedikit dikerjakan secara asal-asal tanpa memperhatikan kualitasnya.

Namun jika sudah seperti itu, maka akan memunculkan urusan ketiga belas, yakni pekerjaan rampung tetapi cepat rusak atau tidak dimanfaatkan sebagaimana penggunaannya. Misalnya, pembangunan terminal transportasi umum-darat atau pembangunan pasar di beberapa daerah seusai diresmikan malah tak difungsikan sebagaimana mestinya, lalu menjadi bangunan tua. Bahkan ada sejumlah pekerjaan yang terbengkalai atau tidak dirampungkan pekerjaannya karena pihak pelaksana kehabisan anggaran, yang memang sebelumnya telah tersedot untuk membayar fee sejumlah pihak.

Di sisi lain, Kadin sebagai organisasi pengusaha Indonesia yang bergerak di bidang perekonomian, juga lebih banyak berposisi sebagai tamu di negeri sendiri. Kadin tak berkutik di hadapan pemerintah. Apa yang dikatakan dan yang menjadi selera pemerintah, maka itu pula yang diikuti dan dituruti oleh para petinggi Kadin. Termasuk ketika pemerintah lebih memilih untuk menyerahkan pekerjaan atau penguasaan lahan usaha bagi pihak (pengusaha) dari negara asing, Kadin tak bisa protes. Seakan jika berani protes, maka tak ada jatah proyek untuk para elit Kadin.

Sejauh ini, saya telah menghabiskan banyak waktu sebagai orang yang pernah aktif di dunia jurnalistik dengan sambil mengamati kondisi secara dekat, yang nampaknya memang selama ini telah terbangun sebuah kondisi “pembagian wilayah bisnis” — (lihat diagram 1 di bawah ini), yakni terdapat wilayah bisnis Kadin (A) dan wilayah bisnis pengusaha Asing (C).


Dari pengamatan saya menunjukkan, pemerintah (penguasa/pejabat) nampaknya telah mampu menciptakan  “lahan bisnis”, yakni dengan membuat “gerhana parsial” dari kedua lingkaran wilayah bisnis yang ada tersebut. Dari diagram 1 di atas, wilayah “gerhananya” (B-warna biru) cukup lebar yang menunjukkan sebagai “lahan basah” yang kiri-kanan-dan bawah OK. Dan inilah mungkin salah satu alasan mengapa banyak figur yang sangat bernafsu berlomba-lomba berpartai untuk menjadi penguasa daripada menjadi seorang pengusaha. Contohnya yang terjadi di Banten.

Diagram 1 di atas juga sekaligus secara amat sederhana dapat menjawab kebingungan kita tentang mengapa kondisi ekonomi umat di negeri ini masih tidak mengalami kemajuan signifikan. Meski memang banyak faktor lain yang mengakibatkan mengapa ekonomi bangsa ini tidak mengalami kemajuan, tetapi faktor-faktor lain itu cuma teori.

Karena pada kenyataannya, ekonomi negara yang subur ini telah dikondisikan oleh pemerintah seperti pada diagram 1 tersebut di atas. Yakni porsi jatah proyek dan penguasaan usaha untuk negara asing lebih besar dibanding jatah proyek untuk Kadin (itu pun cuma lebih banyak dinikmati oleh para elit Kadin). Kemudian perhatikan jatah buat rakyat (D) yang porsinya sangat kecil.

Porsi rakyat ini, misalnya dapat berupa bansos, bantuan permodalan UKM dan lain sebagainya. Namun porsi ini pun tak jarang dikebiri oleh oknum pemerintah maupun swasta yang tak bertanggung-jawab. Pernah dengar bansos disunat? Atau apa pernah mengetahui adanya pihak atau oknum karyawan bank yang juga ikut meminta fee atas pencairan modal usaha rakyat (nasabah)? Seperti itulah…!

Dan kondisi seperti ini sebetulnya sudah berlangsung sejak dulu, bahkan telah menjadi “budaya” yang sangat terpelihara di negeri ini. Sungguh, selama kondisi itu (seperti yang tergambar pada diagram 1 tersebut) tetap berlangsung, maka selama itu pula korupsi masih tetap terjadi.

Kadin sebetulnya sangat mengetahui jika selama ini telah terjadi kondisi ekonomi dan iklim usaha yang sangat tidak sehat (seperti kondisi pada diagram 1 tersebut). Tetapi Kadin tidak berani “melawan”, karena lagi-lagi ketergantungan para elite Kadin kepada pemerintah sangatlah besar. Harusnya Kadin berani “melawan” dengan segera melakukan terobosan mendasar. Misalnya, menentang keras seluruh regulasi maupun undang-undang yang dinilai justru bisa melemahkan ekonomi bangsa, lalu menyodorkan solusi-solusi yang dianggap lebih mampu mengangkat derajat ekonomi umat di negeri ini.

Sayangnya, para elite Kadin selama ini pula hanya kelihatannya lebih mendahulukan kepentingan dan urusannya sendiri-sendiri, yakni dengan melakukan pendekatan dan menjalin hubungan kekerabatan kepada para penentu kebijakan. Sementara pengusaha yang tergabung sebagai anggota atau pengurus biasa di Kadin (bukan elite), adalah terkesan hanya formalitas untuk pemenuhan syarat administrasi guna bertahan hidup, bukan kepada arah pengembangan bisnis usaha agar dapat menjadi lebih baik.

Selanjutnya, Kadin seharusnya bisa menciptakan dan menata kondisi baru yang lebih berpihak kepada seluruh anggotanya, karena dengan begitu juga sekaligus dapat dikatakan telah berpihak kepada rakyat. Sayangnya, Kadin pimpinan Suryo Bambang Sulisto (SBS) justru memecat sejumlah anggotanya. Padahal anggota-anggota tersebut diyakini sangat potensial untuk melakukan terobosan dan perubahan mendasar. Lalu dari sinilah terbaca ketidakmampuan SBS memimpin Kadin sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, terutama dalam pasal 3 dan pasal 7 dalam undang-undang tersebut.

Bukan cuma itu, dengan kondisi ekonomi bangsa dan negara yang berantakan serta tak jelas ke mana arahnya seperti saat ini adalah juga sekaligus menunjukkan, bahwa peran dan fungsi SBS di Kadin selama ini tidaklah maksimal, bahkan terindikasi hanya menyenangkan sejumlah pihak saja, termasuk menyamankan pemerintah/penguasa dan pejabat lainnya. Sehingga, di tangan SBS dan para pendahulunya nampaknya hanya membuat Kadin ibarat sebagai “Kamar Dingin= Kadin” yang begitu menyejukkan bagi para penguasa (bukan pengusaha yang tergabung dalam Kadin).  Misalnya dengan leluasanya dilakukan kegiatan impor dan lain sebagainya.

Dengan memahami seluruh kondisi ekonomi yang sangat tidak sehat saat ini, dan dengan mengetahui ketidakmampuan SBS menerapkan Undang-undang No.1 tahun 1987 tersebut, serta hanya seakan membuat Kadin sebagai Kamar Dingin yang sejuk dan hanya memanjakan pihak tertentu saja, maka tentu kita akan segera memahami apa sebetulnya yang menjadi keinginan Oesman Sapta Odang (OSO) serta Setiawan Djody dkk. Termasuk kita akan memahami mengapa OSO dan Setiawan Djody berhasil membentuk kepengurusan baru dalam Kadin yang lebih solid, kredibel, dan lebih memiliki integritas yang tinggi.

Masih ingat perseteruan dan konflik Megawati Sukarnoputri dalam tubuh PDI beberapa tahun silam? Yang dari situ Megawati tetap tidak terterima dalam PDI karena adanya intervensi dari pemerintah, tetapi kemudian Megawati berhasil membentuk kepengurusan PDI baru yang kemudian dikenal dengan nama PDI-Perjuangan.

Dan nampaknya, Kadin versi OSO juga akan mengalami “kisah” yang sama dengan kisah perseteruan Megawati tersebut, yakni boleh jadi Kadin kubu OSO yang kini dipimpin oleh Rizal Ramli sebagai Ketua Umumnya itu akan berubah nama menjadi KADIN-Perjuangan.

Dan tentu saja, KADIN-Perjuangan ini diyakini akan lebih hidup, karena selain dipenuhi oleh anggota-anggota yang memiliki jiwa perjuangan dan daya terobosan yang kuat, juga karena memang melalui Munas telah resmi dinakhodai oleh Rizal Ramli sebagai sosok yang tangguh dalam langkah-langkah dan pergerakan perjuangan perekonomian bangsa.

Selanjutnya, saya pun yakin, KADIN-Perjuangan yang dipimpin oleh mantan Menko Perekonomian itu pun akan segera melakukan langkah-langkah Perubahan yang lebih jelas dan terarah, yakni dengan membawa dan menjadikan KADIN-Perjuangan sebagai “Kamar Dinamis= Kadin” (bukan Kamar Dingin yang selama ini terjadi). Langkah-langkah perjuangan tersebut salah satunya dengan melakukan perubahan terhadap kondisi “pembagian porsi” ekonomi yang tidak sehat menjadi sangat sehat, misalnya saja pada diagram 2 di bawah ini yang saya sebut sebagai diagram  “tusuk sate”, yang bertindak sebagai “penusuk” dan sekaligus sebagai penopangnya adalah pemerintah. Dan silakan diterjemahkan lalu dibandingkan sendiri dengan diagram 1 dan diagram 2.














Minggu, 27 Oktober 2013

Rizal Ramli Sah Ketum Kadin: Sebuah Babak Baru untuk Pulihkan Ekonomi Indonesia yang Babak Belur

Jakarta, [RR1online]:
MESKIPUN Rizal Ramli tidak pernah bermimpi apalagi membayangkan dirinya untuk menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), namun Rizal Ramli akhirnya tak bisa menolak ketika 27 pengurus Kadinda dari 33 provinsi se-Indonesia beserta 25 asosiasi yang tergabung sebagai Anggota Luar Biasa, menunjuknya secara aklamasi sebagai Ketua Umum Kadin periode 2013-2018 dalam Munas VII yang diselenggarakan pada 21-23 Oktober 2013, di Hotel Manhattan, Jakarta.

“Saya sangat berterima kasih atas dukungan teman-teman Kadinda, asosiasi, Dewan Pertimbangan, Dewan Penasihat, dan juga panitia yang telah bekerja keras menyelenggarakan Munas hingga bisa berjalan sesuai dengan amanat UU No. 1/1987 tentang Kadin dan AD/ART Kadin,” ucap Rizal Ramli saat berpidato setelah terpilih. Seperti dikutip waspada.co.id.

Karena itu, Menteri Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid ini pun menyatakan, bahwa jabatan Ketum Kadin ini adalah sebagai amanah dari para peserta Munas dan pengusaha di seluruh Indonesia. Sehingga itu, Rizal Ramli bertekad untuk membawa Kadin menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

“Kita akan fokus menjadikan Kadin sebagai wadah pengusaha yang bermartabat, berwibawa, dan disegani untuk Indonesia yang lebih baik,” ujar Rizal Ramli disambut tepuk-tangan riuh dari seluruh peserta Munas Kadin tersebut.

Rizal Ramli mengajak agar Munas VII Kadin ini dapat dijadikan sebagai momentum hari kebangkitan Kadin dan Indonesia secara umum. Ke depannya Rizal Ramli juga berharap agar Kadin dapat lebih fokus mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan bagi terciptanya iklim usaha yang fair, transparan, dan bersih dari korupsi seperti suap-menyuap.

Nampaknya, Ekonom Senior ini meminta agar tidak boleh lagi Kadin dijadikan alat bagi para elitnya untuk memperoleh proyek-proyek pemerintah, apalagi jika sampai menjilat dan melakukan persekongkolan monopoli usaha dengan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan. Sebab, tentu saja itu diyakini akan justru membuat Kadin ini menjadi organisasi yang tidak berwibawa, yang pada akhirnya pun menjadi tidak disegani.

Dari pengamatan langsung saya di lapangan selama aktif sebagai seorang jurnalis sejak tahun 1990-an hingga sekarang selaku penulis, memang menunjukkan bahwa, citra pengusaha (terutama kontraktor) di mata banyak masyarakat tidak jarang dipandang ke hal-hal negatif yang bisa membuat wibawa kontraktor tersebut hilang dan tidak disegani.

Yakni, semua orang tentu sudah tahu, bahwa ada image masyarakat yang telah terbentuk selama ini yang kerap menyimpulkan bahwa setiap kontraktor bisa dengan mudah mendapatkan proyek anggaran menengah hingga nilai besar itu adalah karena adanya dua faktor. Yaitu, selain karena kontraktor yang bersangkutan adalah keluarga dan kerabat penguasa atau pejabat berpengaruh, juga adalah karena dilalui dengan cara-cara yang tidak fair, misalnya dengan melakukan sogok antara pengusaha kepada penguasa (atau bisa pula dilakukan kepada keluarga, kerabat dekat penguasa).

Contoh dekatnya adalah yang terjadi pada dugaan suap kasus daging sapi impor, yang melibatkan elit kader PKS itu, lalu memunculkan sejumlah nama seperti Sengman, Bunda Putri yang disebut memiliki hubungan dekat dan khusus dengan Presiden SBY.

Atau dengan dugaan kasus Korupsi SKK Migas, Proyek Hambalang, Wisma Atlet, pengadaan Helikopter, Damkar, pengadaan sarung, dan bahkan proyek pengadaan al-Quran serta lain sebagainya pun tak luput dari persekongkolan antara pengusaha dan penguasa yang sudah pasti mengarah kepada kegiatan korupsi.

Hal-hal semua itulah kiranya yang akan dihilangkan oleh Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin, khususnya dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Dan itu sudah diawali dengan telah ditandatanganinya Pakta Integritas Anti-Korupsi (PIAK) pada Munas VII Kadin, di  Hotel Manhattan-Jakarta, Selasa (22/10). Penandatanganan PIAK itu sendiri dilakukan oleh Ketua Umum Kadin Rizal Ramli, Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Oesman Sapta Odang, dan Ketua Dewan Penasehat Kadin Setiawan Djody, dan disaksikan langsung Abraham Samad selaku Ketua KPK.

Hal lain yang akan dilakukan Rizal Ramli, tentunya adalah mengenai buruh dan pengusaha yang ingin disinergikan  demi kemajuan ekonomi Indonesia. Rizal Ramli ingin menjadikan pengusaha dan buruh sebagai pendamping setia yang harmonis, bukan pihak yang harus diposisikan berhadapan sebagai lawan. Sebab, katanya, jika sinergi ini bisa diwujudkan, maka perekonomian Indonesia akan mampu tumbuh di atas 10 persen dan menjadi salah satu raksasa Asia. Sehingganya Rizal Ramli mengharapkan tak ada lagi pembenturan antara buruh dan pengusaha.

Selain itu, Rizal Ramli tak ingin lagi adanya kebijakan ekonomi, khususnya perdagangan yang keliru yang dapat memaksa harga kebutuhan pangan menjadi tinggi yang mengakibatkan rakyat justru mengalami kesulitan atas kebijakan-kebijakan yang keliru tersebut. Rizal Ramli tentunya ingin mengatakan, bahwa seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan itu adalah demi memberi kemudahan dan rasa nyaman buat rakyat, bukan malah lebih mempersulit lalu justru memberi kemudahan dan keuntungan sepihak bagi kelompok-kelompok tertentu.

Kekeliruan lain dari kebijakan yang tak henti-hentinya disoroti Rizal Ramli sejauh ini, adalah tentang gemarnya  pemerintah mempertahankan sistem kuota impor yang justru berhasil melahirkan kelompok-kelompok kartel yang malah merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Dan ini, menurut Rizal Ramli, sangat buruk karena pada saat yang bersamaan, kartel-kartel inilah yang mendikte dan mempermainkan harga untuk memperoleh keuntungan sangat besar, –yang tentunya sebagian keuntungan itu mereka gunakan untuk menyogok pejabat-pejabat korup. Dan inilah yang terjadi selama ini.

Sehingga itu, Rizal Ramli berkeinginan agar Kadin pada periode ini harus benar-benar berjalan secara utuh menurut fungsi dan perannya. Salah satunya adalah dengan melibatkan Kadin secara aktif dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut dunia usaha serta mengenai permasalahan dan perkembang ekonomi bangsa.

Keinginan Rizal Ramli untuk Kadin dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan itu menurut saya sangatlah beralasan. Yakni, dengan memperhatikan Undang-undang No.1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri. Di antaranya, Menimbang: ….pada huruf c.”…..diperlukan adanya Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah pembinaan untuk meningkatkan kemampuan profesi pengusaha Indonesia dalam kedudukannya sebagai PELAKU-PELAKU EKONOMI NASIONAL, dan sebagai wadah penyaluran aspirasi dalam rangka KEIKUTSERTAANNYA dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi berdasarkan DEMOKRASI Ekonomi sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;”

Kemudian diperkuat lagi dalam Bab IV Fungsi dan Kegiatan, yakni pada pasal 7 huruf c. “PENYALURAN ASPIRASI dan KEPENTINGAN para pengusaha di bidang perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan di bidang ekonomi”

Pemikiran saya, andai Kadin sebelumnya bisa berjalan sesuai harapan Rizal Ramli saat ini, maka saya juga yakin, ekonomi Indonesia tidak bakalan BABAK BELUR seperti sekarang, yang membuat ekonomi kita pun jadi lemah dan lemas tak berdaya.

Sayangnya, pemerintah sekarang sepertinya sok pintar dan sok jago, lebih “senang jalan sendiri”. Di saat bersamaan, ini diperparah lagi oleh Kadin sebelumnya yang juga sok berwibawa dan hanya tahu “Yes..Yes..” aja. Sehingga kondisi inilah yang kemudian memudahkan anggaran negara mengalami banyak defisit, lalu pemerintah pun tanpa mau ambil pusing hanya langsung mengambil langkah menaikkan harga BBM dan bahkan dengan menambah utang negara yang kini sudah makin membengkak. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat dangkal…?!

Sehingga itu, tidak sedikit kalangan masyarakat yang menaruh keyakinan, bahwa dengan terpilihnya Rizal Ramli sebagai Ketua Umum Kadin yang sah hasil Munas kemarin, itu adalah sekaligus sebagai sebuah babak-baru untuk memulihkan ekonomi Indonesia yang saat ini sedang babak-belur.

Keyakinan ini pun sangat beralasan, bahwa menjabat sebagai Menko Perekonomian saja Rizal Ramli mampu berbuat banyak meski dalam waktu singkat, maka tentulah diyakini akan lebih mampu lagi sebagai Ketua Umum Kadin. Selain itu juga, karena Rizal Ramli adalah bukan sosok yang berasal dari parpol mana pun.

““Mengutip pepatah Sulawesi Selatan, saya ingin menyampaikan, sekali layar terkembang, pantang biduk kembali pulang. Kita akan fokus menjadikan Kadin sebagai wadah pengusaha yang bermartabat, berwibawa, dan disegani untuk Indonesia yang lebih baik,” pungkas Rizal Ramli disambut tepuk tangan meriah peserta Munas VII Kadin. Seperti dilansir rakyatsulsel.com.

Selamat bekerja buat para pengurus Kadin yang baru periode 2013-2018. Permasalahan dan tantangan di depan masih terlalu berat, semoga Tuhan senantiasa melindungi dan memberi kekuatan kepada Rizal Ramli beserta seluruh anak bangsa lainnya, yang karena tak henti-hentinya berjuang untuk kemaslahatan umat banyak di muka bumi pertiwi ini. Amin..!!!!>map/ams

———–

SALAM PERUBAHAN…!!!

Rabu, 09 Oktober 2013

OSO: Hanya Orang Tak Jujur yang Tak Setuju Rizal Ramli


Jakarta, [RR1
online]:
MENANGGAPI
penilaian dari pihak-pihak tertentu yang menganggap Kadin hasil Rapimnas Bali (27-28 September 2013) yang lalu adalah sebagai para pemimpi, Oesman Sapta Odang (OSO) merasa perlu mengklarifikasi penilaian tersebut. OSO menyatakan, justru bermimpi saat ini lebih baik lalu diusahakan agar kelak mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Justru yang buruk adalah, bila hal-hal yang dibanggakan sejauh ini ternyata hanya malah menjadi bagian dari mimpi-mimpi yang tidak pernah terwujud.

“Sekali lagi saya tegaskan, kita di sini semua tidak ingin menjadi Ketum Kadin. Saya tidak, Pak Rizal tidak, Pak Setiawan Djodi juga tidak. Kita ingin mengangkat orang yang benar-benar pantas menjadi Ketum Kadin, yang bisa menjadikan Kadin berwibawa dan bermanfaat bagi seluruh pengusaha, khususnya pengusaha daerah dan UMKM, bukan jadi alat para pengurus dan elitnya belaka,” tegas OSO selaku Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Oesman Sapta Odang (OSO) saat jumpa Pers Kadin di Ballroom Mutiara Hotel JW Marriott, Jakarta, Jumat (4/10/2013).

Didampingi Setiawan Djodi selaku Ketua Dewan Penasehat Kadin, OSO menegaskan, Rizal Ramli adalah sosok ekonom senior kelas dunia. Indonesia membutuhkan pemimpin  yang paham dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi yang melilit bangsa ini. Rizal Ramli adalah orang yang tepat untuk itu.

Karena keahlian dan kematangan Rizal Ramli, kata OSO, sampai-sampai Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pun merasa sangat perlu menunjuk Rizal Ramli sebagai penasehat ekonomi. “Kadin terlalu kecil buat dia (Rizal Ramli). Tapi lebih kecil lagi yang menjadi lawannya. Jabatan Ketum Kadin diterima Rizal Ramli pada Rapimnas itu diikuti dengan syarat, yakni hanya sampai mengantarkan diselenggarakannya Munas Kadin akhir Oktober ini saja. Jadi, jangan sampai ada orang yang menuduh Rizal Ramli berambisi menjadi Ketua Umum Kadin,” tegas OSO.

OSO bahkan menekankan, bahwa hanya orang-orang tidak jujur yang tidak setuju Rizal Ramli menjadi Ketua Umum Kadin. Kadin bukan lagi level Rizal Ramli karena sudah pernah menduduki dua jabatan menteri sekaligus (Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, red). “Kalau nanti setelah Ketum Kadin kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia, nah.. itu baru benar. Soalnya, Indonesia membutuhkan ekonom yang paham dan terbukti mampu menyelesaikan bermacam  problem ekonomi bangsa. Jadi, jangan ada dusta di antara kita lah,” lontar OSO serius disambut tepuk tangan wartawan dan sejumlah Pengurus Kadin hasil Rapimnas di Bali, 27-28 September 2013 yang lalu, dalam jumpa Pers tersebut.

Terpilihnya Rizal Ramli sebagai Ketua Umum Kadin hasil Rapimnas di Bali tersebut membuat sejumlah pihak menilai secara dangkal, bahwa Rizal Ramli tidak akan mampu membawa Kadin lebih baik karena bukan seorang penguasa.

Pandangan ini sangat jelas tidak ingin mengakui secara jujur, dan mungkin lupa bahwa Rizal Ramli sukses membenahi organisasi dan bisnis Bulog dalam waktu amat singkat. Juga menyelamatkan PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang kemudian berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). Lalu menyelamatkan PLN yang secara teknis sudah bangkrut karena asetnya hanya Rp52 triliun, modalnya minus Rp9 triliun, dan utangnya Rp29,6 triliun. Dalam tempo sangat singkat, Rizal Ramli mampu mempersembahkan aset PLN melambung menjadi Rp202 triliun, modal naik pesat menjadi Rp119,4 triliun tanpa menyuntikkan serupiah pun modal pemerintah.

Bukan cuma itu, Rizal Ramli ketika di kabinet sebagai menteri juga konsisten mengusung ekonomi konstitusi dengan gigih, yang dibuktikan dengan  prestasi gemilangnya mempersembahkan untuk negara sebesar Rp5 triliun dari Indosat dan Telekom untuk menambal APBN yang jebol. Hebatnya, lagi-lagi duit itu diperoleh tanpa harus menjual selembar pun saham PT Telkom dan Indosat.

Tidak hanya sampai di situ, Rizal Ramli dalam waktu yang sangat singkat pula toh masih sempat memperlihatkan kemampuannya menghentikan rush yang melanda Bank Internasional Indonesia (BII). Meski waktu itu Bank Dunia dan IMF sudah menyarankan agar pemerintah melikuidasi BII dengan biaya sekitar Rp4 triliun-Rp5 triliun, namun itu ditolaknya mentah-mentah. Lalu kala itu Rizal Ramli hanya mengambil langkah terobosan sendiri yang terbukti bisa menjadi solusi, lagi-lagi tidak sekeping pun duit pemerintah yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan BII ketika itu.

Begitu pun saat menjabat sebagai Komisaris Utama PT Semen Gresik, Rizal Ramli mampu memperlihatkan kinerja yang amat signifikan. Lalu dari situ kemudian muncul sebuah ironi, Rizal Ramli yang berprestasi membawa BUMN itu malah dipecat karena hanya sebuah idealisme yang diperjuangkannya untuk kepentingan bersama.

“Tapi itu semua masa lalu. Saya ingin mengajak semua pihak, khususnya mantan Ketum Kadin sebelumnya, Saudara Suryo Bambang Sulisto (SBS) dan kawan-kawannya, untuk tidak terlalu mempersoalkan masa lalu. Mari kita melihat masa depan. Mari kita sama-sama membangun Kadin yang lebih berwibawa dan punya kontribusi penting bagi Indonesia secara keseluruhan,” ujar Rizal Ramli yang kini sedang dipersiapkan oleh sejumlah tokoh nasional berpengaruh untuk maju sebagai Capres 2014.>map/ams

Selasa, 01 Oktober 2013

Penunjukan Rizal Ramli, Momen Kebangkitan Ekonomi Bangsa


Kategori: Opini*
Jakarta [RR1online]:
AKIBAT dari banyaknya persoalan negara, mulai dari kondisi ekonomi yang masih memburuk, utang negara yang terus membengkak, hingga pada masalah koruptor yang justru terus “dipelihara” oleh negara, membuat harapan rakyat untuk menikmati kemakmuran dan kesejahteraan pun menjadi redup. Tak salah kiranya jika ada ratusan juta rakyat jelata yang saat ini sangat menantikan meletusnya sebuah “revolusi” di negeri ini.

Tetapi, rakyat saat ini akhirnya hanya bisa “diam” karena kelelahan. Lelah menangis, lelah menjerit, serta lelah memohon kepada presiden agar tidak mendahulukan kepentingan kelompoknya saja.

Bahkan sebagian besar lainnya juga nampak sudah lelah berdemo, lelah mengkritik dan lelah mengeluh. Karena meski unjuk-rasa maupun aksi damai dan semacamnya sudah berkali-kali dilakukan guna mendesak presiden maupun pemerintah agar segera menuntaskan seluruh masalah di negeri ini, tetapi presiden malah sering balik mengeluh, alias curhat. Bahkan, presiden tak jarang pula hanya menjawabnya dengan nyanyian melalui sejumlah album lagu yang telah dirilisnya.

Namun, di saat harapan rakyat jelata mulai meredup, dan ketika para aktivis juga sudah mulai kelelahan dan kehabisan jurus, tiba-tiba dari Pulau Dewata  terdengar kabar Ekonom Senior DR. Rizal Ramli ditunjuk aklamasi sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) “yang baru”, yakni dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin, di Hotel The Stone Kuta-Bali, Sabtu (28/9/2013).

Selain Rizal Ramli, peserta Rapimnas itu juga sepakat dan bulat menunjuk Setiawan Djodi sebagai Ketua Dewan Penasihat, dan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Kadin.

Beberapa bulan terakhir ini, Kadin memang sedang mengalami kemelut akibat Suryo Bambang Sulisto (SBS) dinilai “mandul” selaku ketua umum. Banyak program kerja yang menjadi keputusan Munas tidak mampu dijalankannya karena hanya lebih banyak bergerak secara individual.

Bukan cuma itu, SBS juga dinilai tidak bijak dan tidak profesional dengan lebih memperlihatkan sikap egoisme dan arogansinya sebagai ketum Kadin. Di antaranya, ia (SBS) tak ingin diperingati ataupun dikritik. Siapa saja yang mengritiknya, langsung dicopot. Dan beberapa pengurus DPP dan DPD Kadin pun sudah ada yang dipecat oleh SBS dari keanggotaan Kadin tanpa diikuti dengan peringatan lebih dulu.

Sedangkan, salah satu keputusan Munas 2010 (dari 41 butir keputusan) yang hingga kini belum dilaksanakan oleh SBS, menurut Ketua Kadin Provinsi DI Yogyakarta yang dipecat Nur Achmad Affandi, yakni mengenai pemberdayaan ekonomi daerah melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan investasi, dan pembinaan usaha di daerah. Serta pengurus Kadin juga diwajibkan untuk mengadakan pengembangan kapasitas pengusaha daerah melalui berbagai pelatihan-pelatihan. “Namun hingga saat ini, hal itu tidak dilakukan oleh pengurus Kadin yang diketuai Bambang,” kata Nur, seperti dilansir tempo.co.

Sehingga, dengan memperhatikan semua itu, dan demi menyelamatkan Kadin sebagai organisasi “penggerak ekonomi” bangsa, maka keputusan Rapimnas di Bali yang menunjuk Rizal Ramli sebagai Ketum Kadin yang baru pun tak dapat dihindari.

Menurut saya selaku pengamat sosial, budaya dan politik, penyelenggaraan Rapimnas di Bali tersebut sama sekali tak bisa ditunjuk sebagai langkah ke “kamar politik”. Sebab, Kadin memiliki “kamar” sendiri dengan tujuan yang jelas sebagaimana dituangkan di pasal 8 dalam Keppres No.17 Tahun 2010.

Dalam Keppres tersebut dengan jelas disebutkan bahwa: Kadin bertujuan mewujudkan dunia usaha nasional yang kuat, berdaya cipta dan berdaya saing tinggi, dalam wadah Kadin yang profesional di seluruh tingkat dengan:
a. membina dan mengembangkan kemampuan, kegatan dan kepentingan pengusaha Indonesia, serta memadukan secara seimbang keterkaitan antara potensi ekonomi nasional di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta, antar-sektor dan antarskala, dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ;

b. menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang kondusif, bersih dan transparan yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional dalam tatanan ekonomi pasar dalarn percaturan perekonomian global.

Jadi, sangat keliru dan amat berlebihan jika Rapimnas tersebut dinilai telah memasuki “kamar politik”. Apalagi, Rizal Ramli, Setiawan Djodi dan Oesman Sapta Odang saat ini tidaklah memiliki “baju” partai politik.

Malah dengan ditunjuknya Rizal Ramli sebagai ketum Kadin bersama kedua tokoh pengusaha sukses tersebut adalah sebagai bukti, bahwa seluruh peserta Rapimnas di Bali itu amat memahami kandungan “mukadimah” paragraf pertama dalam Keppres No.17 Tahun 2010 tersebut.

Mukadimah itu adalah: “Pengusaha Indonesia menyadari sedalam-dalamnya bahwa dunia usaha nasional yang tangguh merupakan tulang punggang perekonomian nasional yang sehat dan dinamis dalam mewujudkan pemerataan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam upaya meningkatkan ketahanan nasional dalam percaturan perekonomian regional dan internasional”.

Olehnya itu, peserta Rapimnas Kadin di Bali tersebut sama sekali tidaklah keliru menunjuk Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian itu, sebagai Ketua Umum mereka (Kadin) yang baru. Sebab justru pada momen seperti inilah mereka sangat meyakini, bahwa Rizal Ramli adalah sosok yang mampu membangkitkan perekonomian bangsa kita yang saat ini memang sedang mengalami masa suram.

Namun saya juga tidak menyalahkan jika ada pemikiran yang mengarahkan hal ini ke ruang politik, karena mendekati Pemilu 2014. Tetapi, pandangan seperti itu amat berlebih-lebihan, dan saya anggap itu sebagai ketakutan yang luar biasa.

Sebab, bagi saya, ada banyak hal yang justru lebih patut diwaspadai dan dicemasi saat ini. Yaitu masalah fondasi ekonomi Indonesia yang  masih rapuh, juga dengan persoalan korupsi yang hingga kini masih terus berlangsung, dan entah kapan itu semuanya bisa dituntaskan….?!!?

Saya lebih sependapat dengan statement mantan Ketum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii), yang ikut menyatakan mendukung penuh atas didaulatnya Rizal Ramli selaku Ketua Umum Kadin yang baru melalui Rapimnas tersebut. “Saya setuju, ini suatu revolusi,” ujar Buya Syafii, di Jakarta, Minggu malam (29/9/2013), seperti dilansir rmol.co.

Di mata Buya Syafii, Rizal Ramli dapat berbuat banyak bagi kemajuan perdagangan dan industri di Indonesia.“Beliau (Rizal Ramli) punya pengalaman, keberanian, dan diyakini bisa merubah pola pembangunan kita,” ungkap Buya Syafii seraya mengaku tidak mempersoalkan hubungan Kadin di bawah pimpinan Rizal Ramli dengan pemerintahan yang ada. Sebab, menurutnya, justru pemerintahlah yang harus menyesuaikan diri dengan keberadaan Kadin.

-----------
*Sumber :  Kompasiana

Di Tangan Rizal Ramli, Kadin Diyakini Menjelma Jadi “Kadin Perjuangan”


Jakarta, [RR1online]:
MARI sama-sama menengok, betapa kondisi ekonomi Indonesia masih saja tetap rapuh dan merosot hingga saat ini. Dan mari sama-sama merenungi, bahwa sesungguhnya bukan hanya pemerintah saja yang harus bertanggungjawab dengan kondisi ekonomi tersebut, tetapi salah satunya adalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) juga patut “ditinjau” ketika dinilai “mandul” dalam mengemban tugasnya.

Sehingga tak keliru, jika sebagian besar pengurus Kadin saat ini sedang melakukan upaya “perjuangan untuk perubahan” di tubuh organisasi yang dihuni oleh para pengusaha profesional tersebut. Mereka tak ingin diam ketika mengetahui kondisi ekonomi jadi “terpuruk” seperti saat ini namun tak ada terobosan yang bisa dilakukan oleh ketua umum Kadin.

Berharap dapat mengambil langkah terobosan untuk sama-sama mengatasi masalah ekonomi di negeri ini, ketua umum Kadin justru melakukan pencopotan sejumlah pengurus DPP juga DPD Kadin. Sehingga mayoritas pengurus Kadin pun menilai, bahwa ketua umum Kadin tak punya itikad baik dalam mengemban organisasi yang beranggotakan para pelaku pembangunan tersebut.

Sederhananya, selama dipimpin oleh Suryo Bambang Sulistiyo (SBS), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dinilai telah banyak mengalami kemunduran yang amat memprihatinkan. Sehingga sebagai wujud mengatasi keprihatinan tersebut, sekaligus demi mengembalikan peran dan fungsi Kadin seperti sebagaimana yang diharapkan, maka sebagian besar pengurus elit Kadin se-Indonesia pun menggelar Rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional), di Hotel The Stone Kuta-Bali, Sabtu (28/9/2013).

Melihat kondisi tersebut maka Kadin hasil Munaslub akan mengambil peranan yang signifikan demi menyelamatkan organisasi. Rapimnas sebagai ajang konsolidasi menjelang Munas merupakan solusi terbaik dalam mengatasi kekisruhan di tubuh Kadin saat ini.

Rapimnas ini merupakan wujud konsolidasi yang mengarah ke langkah selanjutnya, yakni Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang rencana akan dilaksanakan pada Oktober 2013 mendatang di Jakarta.

Ketua pengarah Rapimnas, Azwir Dainitara mengungkapkan beberapa alasan penting agar Munaslub Kadin segera secepatnya dilaksanakan. “Rapimnas ini didasari pada fakta perekonomian nasional yang semakin parah dan memburuk, karena Kadin selama ini sudah tidak mampu dan diintervensi pihak-pihak tertentu,” ujar Azwir yang juga anggota Komisi VII DPR RI. Seperti dilansir sindonews.com

“Kadin yang sudah kita bubarkan sudah tidak lagi membawa aspirasi daerah. Sebab perekonomian yang semangatnya otonomi daerah kan harus kembali ke daerah, ternyata dia (SBS) tidak mampu melaksanakan program-program untuk pengembangan daerah,” tegasnya.

Azwir mengklaim, dukungan dari berbagai daerah untuk Munaslub dengan agenda pemilihan ketua umum baru Kadin semakin menguat dengan kehadiran 23 pengurus daerah Kadin se-Indonesia.

Azwir juga membenarkan tentang adanya keprihatinan para pengurus DPD yang menilai peran Kadin nyaris tidak terlihat dan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pengambil kebijakan.

Bahkan, katanya, dalam beberapa kegiatan penting baik secara nasional maupun internasional, seperti KTT-APEC di Bali, peran Kadin tenggelam dan SBS lebih banyak bermain secara individual. “Dia (SBS) naik karena ada kekuatan tertentu, setelah dua tiga tahun memimpin tidak mampu ya kita ganti. Kita tidak mencari kesalahan orang, ini untuk perbaikan perekonomian nasional,” tegasnya.

Dalam Rapimnas Kadin di Bali itu, selain memilih Setiawan Jodi sebagai Ketua Dewan Penasehat Kadin, dan juga Oesman Sapta Odang selaku Ketua Dewan Pertimbangan Kadin, terdapat pula 23 DPD secara bulat dan aklamasi menunjuk Ekonom Senior DR. Rizal Ramli selaku Ketua Umum hingga Munas ke-7 yang akan diselenggarakan pada Oktober 2013 mendatang.

Dan dengan terpilihnya Rizal Ramli, Sang Tokoh Nasional paling Reformis ini sebagai Ketua Umum Kadin setidaknya melukiskan sebuah optimisme, bahwa Kadin sebentar lagi akan berubah menjadi “KADIN PERJUANGAN” yang diyakini mampu menuju PERUBAHAN yang lebih baik.

Bagaimana tidak, boleh jadi di benak segenap peserta Rapimnas itu juga merupakan alasan mengapa harus Rizal Ramli yang ditunjuk sebagai Ketua Umum Kadin. Yakni, kalau hari ini Indonesia juga sangat membutuhkan sosok Rizal Ramli untuk dimajukan sebagai Capres, maka mengapa “kita” (peserta Rapimnas) tidak memilih dia (Rizal Ramli) sebagai ketua umum agar Kadin bisa diselamatkan dari “krisis”?!!

Dalam pidatonya, Rizal Ramli mengaku kaget dan tak menyangka akan didaulat menjadi Ketua Umum Kadin yang baru. “Kadin mestinya bisa menjadi organisasi yang diperhitungkan. Tidak memble seperti sekarang ini. Mari kita benahi, kita rapikan, nanti yang terpilih sebagai ketua umum di Munas silakan,” ajak mantan Menko Perekonomian ini.

Untuk merenggangkan ketegangan otak, Rizal Ramli bahkan sempat melontarkan guyon yang disambut tepuk-tangan riuh dari seluruh peserta. “Kalau ada yang lain gantikan saya sebagai ketua umum (dalam munaslub), maka gantian saya nanti jadi presiden,” tutur Rizal Ramli dengan senyum khasnya yang santai tetapi serius. Seperti dikutip inilah.com.

Rizal Ramli menambahkan, Kadin akan fokus memperjuangkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan kekuatan bisnis nasional , daerah dan rakyat Indonesia.  “Dengan misi seperti itu, Kadin tidak lagi sekadar sebagai organisasi lobby untuk kepentingan bisnis para pimpinan-pimpinannya,” pungkasnya.

Dari pernyataan-pernyataan Rizal Ramli ini, tentu saja terlihat sangat jelas bahwa Kadin dengan kebiasaan-kebiasaan buruknya akhir-akhir ini sebentar lagi akan menjelma menjadi “Kadin Perjuangan”.

Sementara itu di tempat yang sama, Oesman Sapta Odang (OSO) mengaku amat salut dan gembira karena peserta Rapimnas tidak salah memilih Rizal dan Setiawan Jodi. Sebab menurut OSO, keduanya adalah sosok yang memiliki idealisme dan konsep dalam membangun bangsa. “Saya kenal keduanya cukup lama, mereka tidak berfikir soal jabatan. Mereka pikirkan konsepsional ke depan bagaimana membangun sistem perekonomian di Indonesia,” tandasnya.>map/ams

Minggu, 22 September 2013

Rizal Ramli: Mobil Murah Dahsyat Jika Made in Indonesia



Semarang, [RR1online]
PRO-kontra seputar kebijakan mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) telah mengundang banyak perhatian dari berbagai pihak. Ada yang sekadar berkomentar, ada pula yang coba mengajukan saran untuk solusi terhadap kebijakan LCGC tersebut.

Adalah Ekonom senior Dr Rizal Ramli yang termasuk setuju dengan kebijakan LCGC itu. Rizal Ramli pun memberikan saran sekaligus penegasan yang mengarah kepada kepentingan kemajuan ekonomi Indonesia di Asia. Yakni, ia setuju, asalkan berbasis mobil nasional atau buatan dalam negeri.

Menurut Rizal Ramli, kalau sekadar mobil murah (bukan mobil nasional), apalagi kalau hanya untuk gaya-gayaan, dirinya tidak setuju. “Sebab, Indonesia hanya akan terus menjadi pasar (produsen mobil asing). Kalau mobil nasional murah (made in Indonesia), saya setuju," ujar Rizal Ramli.

Pandangan dan pencerahan tersebut diungkapkan Rizal Ramli yang juga pernah menjabat Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan era Presiden Abdurrahman Wahid itu sesaat setelah memberikan kuliah umum berjudul: "Membangun Perekonomian di Era Asia", di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Di hadiri 1000-an mahasiswa baru Unissula, Semarang, Sabtu (21/9/2013).

Dijelaskannya, dengan kebijakan mobil NASIONAL murah, maka sebagian besar komponennya harus dibuat di Indonesia. Dan ini, katanya, akan menimbulkan konsekuensi, yakni pemasok komponen mobil dari luar negeri harus direlokasi ke Indonesia.

Rizal Ramli mengungkapkan, akan sangat  dahsyat ketika LCGC seluruh komponennya dibuat di Indonesia, karena 'cost' yang dibutuhkan tentu semakin murah. “Selain akan membuka kesempatan lapangan pekerjaan, maka tentu 'cost'-nya akan lebih murah apabila diproduksi di Indonesia dibandingkan ketika masih diproduksi di Jepang atau di negara-negara lain," kata Rizal Ramli seperti dilansir majalah perubahan.

Rizal Ramli mengaku akan menjadi orang nomor satu yang akan menolak kebijakan LCGC itu jika ternyata komponen yang digunakan masih banyak disokong oleh produsen asing. Sebab itu, katanya, sangat bisa mengakibatkan defisit transaksi berjalan yang sangat besar lagi.

Sehingga itu, menurut Rizal Ramli yang juga selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini, mestinya pemerintah saatnya merespon positif kehadiran mobil nasional murah saat ini. Sebab dengan mobil nasional yang murah made in Indonesia, itu bisa dipastikan bisa membuat rakyat Indonesia bangga karena setelah berpuluh tahun akhirnya bisa memproduksi mobil dalam negeri dengan harga murah.

Rizal Ramli yang dinobatkan sebagai Capres 2014 paling ideal ini mencontohkan, bahwa Malaysia bisa mengembangkan mobil nasionalnya sejak 10-15 tahun lalu ketika pasar mobil di dalam negerinya mencapai 100.000unit. Begitu pun dengan Korea sejak 20 tahun lalu saat pasar dalam negerinya juga mencapai 100.000 unit. Sekarang, katanya, mobil nasional Malaysia dan Korea malahan sudah menembus pasar Indonesia. Lalu LCGC made in Indonesia kapan…???(map/muis)

Jumat, 13 September 2013

Kemakmuran dan Keamanan Negeri Ini pun Ikut “Defisit”


Jakarta, [RR1online]:
-    MELEMAHNYA nilai rupiah;
-    Melambungnya harga pangan kebutuhan pokok rakyat;
-    “Hilangnya” 5 juta Rumah Tangan Pertanian dalam 10 tahun;
-    Sulitnya nelayan kecil berkembang;
-    Pedihnya nasib TKI/TKW yang berpisah dari sanak-saudaranya;
-    Teganya sejumlah ibu membuang bayinya yang baru dilahirkannya; SERTA
-    Sempat meledaknya bom di beberapa wilayah;
-    Tertembaknya sejumlah aparat kepolisian (Jadi target teroris);
-    Gampangnya terjadi aksi penyerangan di Lapas;
-    Terjadinya saling bentrok sesama aparat TNI/Polri;
-    Munculnya aksi perampokan bersenjata;
-    Mudahnya terjadi konflik antarsuku dan agama di beberapa daerah;
-    Ganasnya tawuran antarkelompok masyarakat, juga anak sekolah
-    dan lain sebagainya

Adalah beberapa contoh nyata dari kondisi Indonesia “terkini“, atau paling tidak telah terjadi selama kurun waktu 9 tahun lebih. Dan jangan bilang, bahwa semua kejadian tersebut di atas adalah terjadi begitu saja tanpa SEBAB..?! Dan jangan katakan, bahwa semua fenomena riil tersebut di atas adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah dinamisasi perjalan zaman yang mengglobal. Jika hal ini yang terlintas di benak, maka itu namanya PEMBIARAN.

Saya sangat sepakat dengan tema yang ditampilkan oleh Jakarta Tivi (JakTV) dalam program dialog: Experience with OSO, pada Senin (9/9/2013). Yakni: “Mengatasi Ancaman Keamanan yang Merugikan Perekonomian”.
Dari tema itu, JakTV secara tidak langsung seakan-akan ingin menegaskan, bahwa sesungguhnya saat ini telah terjadi pula “DEFISIT” terhadap Kemakmuran dan Keamanan di negeri ini.

Artinya, dengan memperhatikan rentetan kejadian seperti tersebut di atas, maka itu tentunya menunjukkan bahwa rakyat kita saat ini sesungguhnya masih amat berkekurangan, bahkan sangat jauh dari istilah KEMAKMURAN. Dan ini saya sebut sebagai “defisit” Kemakmuran, yakni kondisi dari sebuah ekonomi rakyat yang telah “terluka” dan menganga.

Sungguh, rakyat kita masih banyak yang miskin, dan sudah sangat lama menjerit kesakitan karena menahan himpitan dan beban ekonomi yang berat dan menusuk. Mengapa pemerintah hanya bisa bermain angka-angka tanpa bergegas melakukan tindakan yang sangat dinanti-nantikan oleh rakyat kita? BLSM bukan tindakan, karena BLSM bukanlah solusi yang bisa menyembuhkan “luka” himpitan ekonomi mereka yang telah menahun itu.

Nelayan butuh kail, butuh perahu, butuh jaring dan butuh BBM untuk melaut. Petani butuh lahan, butuh bibit unggul, butuh pupuk, dan butuh hand-tractor,- lalu mengapa mereka diberi BLSM? Apakah cuma begini kemampuan pemerintah menyikapi dan “mengobati” luka rakyat miskin yang telah lama terhimpit beban ekonomi?

BLSM justru hanya membuat “defisit kemakmuran” makin lebar dan luas. Sehingga maaf, saya bahkan tidak melihat adanya niat baik dari pemerintah di balik pemberian BLSM itu. Kenapa? Silakan disaksikan sendiri, berapa banyak rakyat penerima BLSM yang harus KEHABISAN WAKTUNYA mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan Rp.150 ribu? Mengantrinya malah lebih lama daripada menghabiskan uang yang baru diterimanya itu. Ini belum termasuk dengan dampak lainnya, seperti motivasi mereka untuk bangkit tiba-tiba rontok seketika karena dipaksa kembali untuk berada di garis kemiskinan melalui pemberian BLSM.

Saya teringat ketika meliput acara Dialektika Demokrasi yang bertema: “BLSM untuk Kepentingan Rakyat atau Parpol?” di Press-room DPR Senayan, Kamis (16/5/2013). Di sana untuk pertama kalinya Rizal Ramli yang menyebut BLSM adalah ibarat Balsem yang hanya sebagai penghangat sementara, tetapi penyakitnya tetap tak bisa hilang.

Dari kondisi masalah seperti itu juga menunjukkan, bahwa Indonesia memang mengalami “defisit” Kemakmuran yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Jika tidak, maka akan dikuatirkan akan menyusul “defisit” keamanan.
Sebetulnya, saat ini defisit keamanan juga telah terlihat dan sudah terasa. Yakni dengan sempatnya terjadi beberapa kali ledakan bom di sejumlah wilayah, pertumpahan darah akibat konflik antarkelompok dan suku (misalnya di Papua dan di beberapa daerah lainnya). Juga dengan aksi brutal penembakan yang mengakibatkan tewasnya sejumlah polisi dalam waktu yang tidak  bersamaan. Dan apa makna dari semua itu???

Peristiwa penembakan sejumlah polisi tersebut, tentu saja memunculkan rasa tidak aman di tengah-tengah masyarakat, bahwa polisi saja sebagai aparat keamanan malah menjadi korban yang boleh jadi karena defisit  kemakmuran. Dan menurut saya, ini tentu merupakan akibat kelalaian pemerintah yang tak mampu menjamin keamanan warganya, termasuk polisi sekali pun. Pemerintah harus introspeksi diri dan segera secepatnya bertindak mengatasi defisit-defisit yang terjadi di negeri ini..!!!

Jangan memandang remeh kritik dan saran dari Rizal Ramli sebagai Ekonom Senior yang pernah tak dipercaya dalam meramal krisis tahun 1998.  Dan kini Rizal Ramli kembali kuatir adanya gejala krisis dengan menunjuk Quarto-Defisit sebagai dasar terjadinya “defisit” Kemakmuran dan Keamanan. Yakni Rizal Ramli berkali-kali tanpa lelah berteriak agar pemerintah segera mengatasi quarto-defisit tersebut.

“Yakni defisit transaksi perdagangan. Biasanya kita surplus 32 Miliar Dolar AS, 26 Miliar Dolar AS. Tetapi tahun ini kita minus 6 Miliar Dolar AS, termasuk akibat serbuan barang-barang impor,” ujar Rizal Ramli dalam acara dialog: Experience with OSO, di JakTV, yang turut dihadiri pula Panglima Jenderal TNI Moeldoko dan Ketua PBNU KH. Said Agil Siraj, sebagai narasumber , Senin (9/9/2013).

Juga, kata Rizal Ramli, ada defisit transaksi berjalan (current-account). Defisit ini belum pernah terjadi sejelek ini sejak tahun 1998, yakni besarnya mencapai minus 9,8 Miliar Dolar AS. Disusul defisit Neraca Pembayaran (minus) 6,6 Miliar Dolar AS.

Kemudian ini, katanya, diperparah lagi dengan pada kuartal terakhir ini terdapat utang swasta yang jatuh tempo sebesar 27 Miliar Dolar AS. “Itulah yang menjelaskan kenapa Rupiah anjlok. Dan pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tepat seperti capital-control yang pernah dilakukan oleh Mahatir Muhammad yang membuat Malaysia tidak terluka sedikitpun akibat krisis tahun 1998,” ujar Rizal Ramli.

Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah tepat, maka Rizal Ramli amat kuatir dengan kondisi ekonomi yang telah berada di lampu kuning saat ini akan berubah mengarah ke lampu merah. “Yang berbahaya buat kita adalah kalau lampu kuning jadi lampu merah. Terutama kalau itu menyangkut nasib rakyat banyak. Sapa pernah berkali-kali katakan  dolar mau gonjang-ganjing naik, mungkin yang kena Cuma sebagian. Tapi kalau harga pangan, akibatnya menjadi sangat tinggi. Itu nanti limbahnya akan jadi tanggungjawab Pangab TNI,” katanya.

Rizal Ramli yang kini mendapat “aliran” aspirasi dari banyak kalangan untuk juga maju dalam Pilpres 2014 ini mengungkapkan, bahwa security (keamanan) dan prosperity (kemakmuran) itu seperti satu koin dengan dua mata sisi. Kalau tidak ada security, tidak mungkin ada prosperity. Tapi kalau tidak ada prosperity, maka itu akhirnya akan jadi masalah di dalam bidang security,” jelas Rizal Ramli di acara yang dipandu oleh Oesman Sapta tersebut.(map/ams)
---------
Inilah acara dialog: Experience with OSO, di JakTV


Selasa, 10 September 2013

Mafia Migas dan ‘Istana Hitam’



Jakarta [RRonline]:
DALAM beberapa pekan terakhir khazanah Bahasa Indonesia seperti mengenal kosa kata ‘baru’, yaitu ‘Istana Hitam’. Kalau merujuk pada dongeng-dongeng karya HC Andersen, istana adalah sebentuk  bangunan mewah dan megah tempat tinggal raja-ratu. Namun karena di belakang frase istana diikuti dengan kata ‘hitam’, maka asosiasi orang pun dengan sendirinya akan berkelana pada hal-hal yang bersifat buruk, bahkan jahat! 

Adalah Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli yang memopulerkan (kembali) kosa kata Istana Hitam jni. “Semua itu seperti sungai-sungai kecil yang masuk ke sungai besar. Muara sungai besar itu akhirnya adalah ‘Istana Hitam’,” ujarnya dalam beberapa kesempatan merujuk pada mulai terbongkarnya skandal kartel di perdagangan komoditas pangan dan mafia Migas.

Sepak terjang mafia Migas yang sangat merugikan rakyat dan negara tidak mungkin hadir tanpa dukungan kekuasaan. Mereka menikmati keuntungan sangat besar di atas penderitaan rakyat dan beban berat APBN. Tertangkapnya Kepala Satuan Kerja Pelaksana Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini hanyalah puncak gunung es. Selain Rudi banyak korupsi serupa yang jumlahnya jauh lebih besar dan meibatkan pejabat yang levelnya lebih tinggi. Karenanya ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk berani memberantas mafia Migas agar rakyat tidak membayar lebih mahal daripada seharusnya.

Menurut ekonom yang gigih dan konsisten mengusung ekonomi konstitusi ini, salah satu contoh benderangnya eksistensi dan praktik mafia Migas adalah proses pengadaan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Sebetulnya sangat tidak masuk akal Indonesia yang produksi minyaknya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, tapi harus menjualnya ke luar negeri melalui trader. Lucunya, nanti Petral di Singapura membeli kembali dari trader untuk kembali diimpor ke Indonesia. Permainan ini merupakan bagian dari the top of the iceberg. Mereka menaikkan harga yang disepakati dengan selisih US$2-4/barel lebih mahal dibandingkan harga pasar. Makanya mafia Migas ini bisa meraup untung sangat besar, sekitar US$1 milyar/tahun.

Data SKK Migas menyebutkan kebutuhan BBM dalam negeri saat ini ditaksir mencapai 1,3 juta kiloliter (KL). Padahal produksi BBM kurang dari 540.000 barel per hari (bph). Angka ini merupakan produksi minyak kita yang murni menjadi bagian pemerintah. Itu pun tidak semua jatah tersebut bisa diolah menjadi BBM di dalam negeri. Secara total, impor produk minyak yang diimpor Indonesia sekitar 900.000 bph.

‘Tidak masuk akal’ adalah pilihan kalimat yang pas untuk menggambarkan patgulipat di impor minyak/BBM negeri ini. Sebagai salah satu negara penghasil minyak (ingat, dulu bahkan pernah menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak/OPC), Indonesia ternyata mengimpor minyak dari Singapura yang tidak menghasilkan setetes pun minyak bumi. 

Tapi kalau ditelusuri lebih lanjut, praktik culas ini ternyata jadi ‘masuk akal’. Asal tahu saja, 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan Migas dimiliki sederet perusahaan asing. Mereka antara lain Chevron, ExxonMobil, TOTAL, Shell, BP, CNOC, dan lain-lain. Jangan kaget, perusahaan nasional hanya mengelola 14,6% saja. Itu pun sebagian besar perusahan lokal tersebut pemodalnya juga asing.

Prosedur pengadaan BBM yang sarat dengan patgulipat inilah yang dipersoalkan Rizal Ramli. Serunya lagi, praktik yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia ini telah berjalan teramat lama, puluhan tahun. Memang sempat terhenti sebentar di era Habibie dan Abdurrahman Wahid. Namun setelah keduanya, para tikus kembali berpesta-pora atas restu kucing-kucing yang tidak amanah.

AKUI ADA MAFIA
Syukurlah, walah sangat terlambat, akhirnya kesadaran untuk memperbaiki kesalahan datang juga. Angin segar itu datang dari Menteri ESDM Jero Wacik. Dia menyatakan SKK Migas akan menghapus proses tender minyak mentah dan kondesat bagian negara yang tidak dapat diserap Pertamina. Kelak, seluruh minyak mentah dan kondesat bagian negara akan diberikan kepada Pertamina. Perusahaan pelat merah ini nantinya akan mengelola minyak mentah dan kondesat dengan mekanisme tertentu. Selanjutnya terserah pertamina, apakah akan diatur sendiri, ditukar dengan minyak mentah lain supaya bisa diolah, atau dijual.

Wacik mengakui, mekanisme baru itu dapat meminimalkan potensi penyimpangan dalam proses tender minyak mentah di SKK Migas. Selain itu, mekanisme itu juga dapat mengoptimalkan pengolahan minyak mentah di dalam negeri, untuk mengurangi impor. Ehm, secara implisit pemerintah akhirnya mengakui memang ada mafia Migas dengan segala praktik kotornya.

Bagaimana solusinya? Sejak delapan tahun silam Rizal Ramli getol menyarankan agar Indonesia membangun lebih banyak kilang sendiri. Dengan adanya kilang di dalam negeri, pemerintah tidak perlu lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali setelah menjadi BBM. Dari sini  banyak penghematan yang bisa diraup. Mulai dari ongkos transportasi pergi pulang minyak mentah-BBM, biaya asuransi, dan lainnya. Dia menghitung, sedikitnya akan mampu menekan biaya produksi dan pengadaan BBM hingga 20%. Dan, yang tidak kalah penting lagi, pembangunan kilang sendiri akan meminimalisasi eksistensi para mafia Migas berikut praktik-praktik tidak terpuji mereka.

Satu lagi, pembangunan kilang di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan impor BBM. Seiring dengan turunnya impor BBM, dengan sendirinya devisa yang terkuras pun jadi jauh berkurang.  Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, selama Januari hingga Oktober 2011, nilai impor produk migas Indonesia menca­pai US$33,604 miliar atau lebih dari Rp340 triliun. Angka ini naik drastis sebesar 53,99% diban­dingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang US$21,822 miliar. Selama 3 bulan terakhir saja, cadangan devisa sudah berkurang  –US$14,6 miliar. Angka ini melorot tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar

Tentu saja, angka-angka ini sangat berpengaruh pada fundamental ekonomi makro kita. Indonesia mengalami apa yang disebut Rizal Ramli dengan quatro-deficits sekaligus. Yaitu, Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada kuartal pertama 2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah  agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998.

Sayangnya, kendati sudah disampaikan sejak delapan tahun silam, pemerintah bagai menutup mata telinganya. Pemerintah tidak mau? Atau, mungkin lebih tepat disebut tidak berani? Memang ada banyak kepentingan yang akan terganggu jika pembangunan kilang minyak dilakukan.
Itulah sebabnya bak pujangga, Rizal Ramli mengatakan,  “Ibarat ikan, yang busuk pasti dimulai dari kepalanya. Kalau mau membenahi industri migas nasional, harus berani membersihkan ‘kepala ikannya’ dulu.”

Pada titik ini, akhirnya ungkapan “sungai-sungai kecil yang masuk ke sungai besar. Muara sungai besar itu akhirnya adalah Istana Hitam” yang  disampaikannya itu seperti menemukan kebenarannya. Kalau korupsi dan suap di sektor Migas hanyalah satu sungai kecil, tentu masih banyak sungai-sungai kecil lainnya. Publik diharapkan belum lupa dengan kasus suap kuota impor sapi. Begitu juga dengan dugaan kartel pada gula, kedelai, dan berbagai komoditas lain, bahkan garam! Semua itu adalah sungai-sungai kecil lainnya yang masuk ke sungai besar dan akhirnya bermuara ke istana hitam. Hmmm… (*)
-------------
Penulis adalah: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

(Usia SBY dan Utang) Rizal Ramli: Indonesia Mampu Membangun Tanpa Utang

Jakarta, [RRonline]:
KEMARIN, Senin (9/9/2013), akun Twitter @SBYudhoyono, -milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibanjiri ucapan selamat ulang tahun. SBY yang lahir pada 9 September 1949 itu, kemarin berulang tahun yang ke-64.

Bertambahnya usia seorang kepala negara tepat di hari ultahnya adalah memang termasuk hal yang patut untuk diberi ucapan selamat. Itu bagus dan tak ada salahnya, karena bisa sebagai pemberi motivasi buat kepala negara agar bisa menjalankan tugasnya untuk rakyat, bukan untuk keluarga dan kelompok sendiri.

Jadi, mari kita memberi selamat ultah bertambahnya usia Presiden SBY untuk sekaligus mengingatkan, bahwa utang negara kita juga kini makin bertambah. Silakan usia Presiden SBY bisa bertambah! Tetapi tolong, utang negara jangan ditambah-tambah lagi..!!

Inilah yang menggelitik, sekaligus yang merisaukan hati banyak orang, termasuk saya. Bahwa usia manusia setiap tahun (termasuk kepala negara) hanya bertambah 1 (satu), contohnya Presiden SBY dari 63 menjadi 64 saat ini. Tetapi utang negara kita  belum setahun sudah membengkak dan bertambah sekitar Rp.200 Triliun. Ini berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat-LKPP Desember 2012 yang menyebutkan utang negara (saat itu) adalah Rp.1.850 Triliun. Dan saat ini, posisi utang negara kita malah sudah mendekati Rp.2.100 Triliun.

Usia Presiden SBY memang bertambah, tetapi di sisi lain itu sesungguhnya berkurang sebagai manusia. Dan ini sama persis dengan kondisi negara kita, yakni utang bertambah, dan di sisi lain aset negara berupa tanah dan kekayaan sumber daya alam kita malah makin berkurang karena sudah banyak yang dikuasai oleh pihak swasta negara asing. Jadi tolong, Tuan Presiden, utang negara kita jangan ditambah-tambah lagi..!!

Karena dua hal di atas (utang dan aset kekayaan alam kita itu) adalah merupakan sebuah malapetaka buat anak-anak cucu di negeri ini. Dan saat ini sudah sangat menjadi ancaman yang menggelisahkan. Kasihan seluruh rakyat saat ini (terutama rakyat miskin) sangat mengharap agar dapat disejahterakan secepatnya.

Saya setuju dengan pemikiran Ekonom Senior Rizal Ramli yang mengatakan, bahwa sesungguhnya negara ini bisa dijalankan tanpa perlu berutang dari luar negeri, dengan cukup memanfaatkan potensi yang dimiliki sendiri oleh negara kita.

“Volume APBN kita semakin besar saja, tapi tidak kunjung menyejahterakan rakyat. Padahal, dengan volume  APBN yang berkisar Rp 1.800 triliun, seharusnya rakyat bisa hidup lebih baik dan sejahtera. Namun karena minimnya keberpihakan kepada rakyat, maka postur APBN lebih banyak digunakan untuk anggaran yang tidak bersentuhan langsung dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat,” demikian Rizal Ramli dalam keterangan pers kepada wartawan, Senin (9/9), seperti yang dilansir oleh aktual.co.

Di situ disebutkan, sekitar Rp.500 Triliun anggaran APBN dialokasikan untuk belanja modal. Dalam praktiknya, uang itu malah untuk membeli mobil, membangun gedung dan kantor-kantor pemerintah. Padahal, perawatan mobil dan gedung-gedung itu memerlukan biaya sangat besar.

Dan ini saran dari mantan Menko Perekonomian itu, bahwa ke depan, ini tidak boleh lagi terjadi. “Kita akan hentikan (freeze) pembelian mobil dan pembangunan gedung kantor. Kita cukup leasing mobil-mobil dan sewa gedung-gedung untuk perkantoran pemerintah. Dalam hitungan saya, hanya dibutuhkan anggaran Rp.75 Triliun sampai Rp.100 Triliun. Kita bisa hemat hingga Rp.400 Triliun tiap tahun atau sekitar US$40 Miliar. Dana inilah yang kita gunakan untuk membangun jalan-jalan kereta api lintas Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kita bisa membangun tanpa utang lagi seperti selama ini!” jelas Rizal Ramli yang juga anggota panel bidang ekonomi di PBB ini.

Saran lain yang sekaligus disoroti oleh Rizal Ramli sebagai tokoh yang dinobatkan sebagai capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini adalah tentang pembangunan di bidang pertanian yang juga makin merosot.

Masih dari aktual.co. Rizal Ramli menunjuk keberpihakan pemerintah terhadap petani saat ini sangat minim sekali. Alokasi anggaran pertanian di APBN 2014 hanya Rp.14,47 Triliun atau 2,1%. Sebagai negara agraris, idealnya alokasi anggaran pertanian di APBN 10%.  Padahal, pada 2013 Kementan mendapatkan alokasi anggaran mencapai Rp16,38 Triliun. Sebagai pembanding, pada periode 1981-1984 anggaran Departemen Pertanian mencapai 17% dari total APBN. Di sisi lain, anggaran perjalanan dinas pada 2004 hanya Rp.4 Triliun, naik lima kali lipat lebih menjadi Rp.23 Triliun pada 2013.

Menurut Rizal Ramli, ini adalah bicara soal keberpihakan. Para pejabat kita yang menganggap nasionalisme sebagai hal usang, memang tidak peduli dengan penting dan strategisnya kedaulatan pangan.Buktinya, tegas Rizal, itu tampak pada tidak adanya program dan kebijakan yang berpihak pada petani.

“Sekali lagi, keberpihakan kepada petani, bukan pada pertanian. Penyediaan bibit yang unggul tidak memadai, pembangunan waduk dan irigasi, pupuk dengan harga terjangkau, dan kebijakan harga (pricing policy) yang menguntungkan petani. Tapi di Indonesia kebijakan harga seperti itu dianggap tabu, karena tidak sesuai dengan neolib yang menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Semua itu berakar pada ketiadaan nasionalisme pada level kebijakan,” ungkap Rizal Ramli yang kini namanya mulai disandingkan cocok dengan Jokowi untuk maju pada Pilpres 2014 oleh banyak pihak, terutama kalangan akademisi, buruh dan aktivis.(map/ams)

Senin, 09 September 2013

“Bisul Nakhoda” Itu Makin Parah? Jangan Diabaikan!


Jakarta [RR
online]:
KONDISI
negeri ini sesungguhnya sudah parah dan saat ini malah sedang menuju ke titik yang lebih sangat parah lagi.  Mulai dari masalah Pengelolaan ekonomi (nilai Rupiah yang melemah) dan keuangan negara yang mengalami defisit. Seperti yang diungkapkan berkali-kali oleh mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, bahwa saat ini negara sedang mengalami defisit quatro yang meliputi:
1. Defisit Neraca Perdagangan (minus) 6 Miliar Dolar AS;
2. Defisit Neraca Berjalan (minus) 9,8 Miliar Dolar AS;
3. Defisit Neraca Pembayaran (minus) 6,6 Miliar Dolar AS.

Dan juga dengan masalah utang luar negeri yang sangat membebani Indonesia, yakni mencapai sekitar Rp.2.100 Triliun. Hingga kepada masalah korupsi yang terus pula dilakukan oleh para pejabat beserta para kroninya.

Masalah-masalah tersebut adalah bukti yang sangat jelas-jelas menunjukkan, bahwa negeri kita saat ini ibarat “Kapal Perahu” yang sedang berlayar. Kelihatan memang sangat tenang berjalan, tetapi sesungguhnya perahu ini sedang menuju suatu lubang pusaran yang mengerikan dan bahkan amat mengerikan.

Khusus masalah korupsi. Sejauh ini sudah sangat jelas pula memperlihatkan, bahwa Presiden SBY sangat “patut dikasihani” karena diduga kuat sedang mengalami “bisul”. Gejala bisul ini sudah nampak sekali menonjol, meski tertutupi dengan “kain tebal”.

Coba deh.. dibayangkan ketika seseorang mengalami bisul yang sudah amat lebar “membiru” dan bernanah (baunya pun sudah tercium), sementara orang yang terkena bisul ini juga diam-diam saja. Tentu ini dikuatirkan bisa berakibat fatal karena dapat menjalar ke sekujur tubuhnya. Apakah kita tak merasa kasihan? Sehingga itu, sangat tak pantas jika “bisul” itu didiamkan. Harus segera mengambil langkah “penyelamatan”…!!!

Ya.., nama SBY saat ini sudah beberapa kali sempat disebut-sebut dalam persidangan korupsi. Banyak pihak yang kini mulai menyoroti ini. Selain Rizal Ramli sebagai tokoh oposisi yang giat menyerukan perang terhadap koruptor, sejumlah LSM juga kini ikut mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan penyelidikan yang mendalam soal keterkaitan Presiden SBY dengan beberapa kasus mega korupsi di tanah air.

Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi impor beras pada Perum Bulog, impor Migas Pertamina, jual beli minyak mentah Petral, impor daging sapi, suap SKK Migas, dan kasus korupsi proyek Hambalang.

“Nama orang-orang dekat dan bahkan Presiden SBY sendiri sudah sering disebut-sebut terkait dengan berbagai kasus mega korupsi. Ini bukan lagi sekadar rumor, tapi fakta persidangan yang harus segera didalami oleh KPK,” demikian penegasan Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, Selasa (3/9/2013), melalui beritabarak.blogspot.com.

Dari berbagai kasus dugaan korupsi tersebut, kata Danil’s, ada potensi kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah. “Ini bukan saja persoalan korupsi, tapi sudah menyangkut martabat dan kedaulatan negara. Dimana nama seorang kepala negara disebut-sebut dalam persidangan korupsi,” lontarnya.

Karenanya, Danil’s berharap, KPK harus segera mendalami fakta yang mengemuka dalam persidangan. “KPK jangan berlindung di balik kalimat ‘dua alat bukti’, tapi panggil Sengman dan orang-orang yang diungkap Ridwan Hakim dalam persidangan, kemarin. Konfrontir pernyataan Ridwan itu dengan semua pihak yang disebutkannya. Kami jamin KPK didukung penuh oleh rakyat, jadi tidak perlu takut menggaruk semua pihak yang terlibat dalam berbagai kasus mega korupsi. Sekalipun yang terlibat itu adalah Presiden SBY,” tandasnya.

Senada dengan itu, pengamat politik The Indonesian Reform, Martimus Amin, menilai borok Presiden SBY sudah semakin tajam tercium. Juga sebuah LSM yang mengatasnamakan diri Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (Galak) pun menyatakan setuju jika KPK segera mengamputasi “borok” (bisul) Presiden SBY.

Masih menurut beritabarak.blogspot.com. Dari keterkaitan nama SBY dalam kasus Hambalang yang terpapar jelas dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Juga dari kesaksian Ridwan Hakim dalam persidangan yang mengungkapkan nama Sengman, pengusaha utusan Presiden SBY yang menerima uang Rp.40 miliar dari PT.Indoguna Utama, adalah sudah cukup memperlihatkan bahwa SBY diduga kuat memang sedang mengalami “bisul”, dan sepantasnya untuk segera diperiksa.

“Borok Presiden SBY semakin hari semakin parah”, ujar Kepala Staf Investigasi dan Advokasi Galak, Muslim Arbi, mengutip pernyataan Martimus Amin.

Selain itu, beritabarak.blogspot.com juga menulis, bahwa sebuah sumber menyebutkan, pada 23 Mei 2011 pagi sekitar pukul 07.00 WIB, Nazaruddin sudah ada di pendopo ruang tunggu di kediaman Presiden SBY di Puri Cikeas. Menurut sumber yang menyaksikan pertemuan tersebut, Presiden SBY sangat marah, sampai dua kali menggebrak meja.

Gebrakan pertama terjadi setelah Nazaruddin mengatakan, Ibas pernah menerima uang darinya yang diambil dari kas partai, yakni tanggal 29 April 2010 sebesar US$500 ribu.  Pada hari yang sama, Ibas juga menerima kiriman sebesar US$100 ribu.

Lalu gebrakan kedua terjadi hingga menyebabkan meja terpelanting, yakni setelah Nazaruddin menyebutkan Ani Yudhoyono pun menerima uang dari dirinya sebesar US$5 juta, yang berasal dari kas Partai Demokrat, dan itu merupakan pemberian Pertamina (demikian dikutip dari cahayareformasi.com).

Sebagai Koordinator Eksekutif Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM), Muslim Arbi juga berharap, agar KPK dapat menelusuri indikasi kejahatan “penggadaian” kekayaan sumber daya alam berupa Migas sepanjang pemerintahan Presiden SBY kepada asing.

Sebab, katanya, GNM mencatat setelah kehadiran SBY di Sidang APEC di Santiago Chili pada 20-21 November 2004, dan sempat melakukan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Blok Cepu dikelola oleh Exxon Mobil asal Amerika Serikat (AS).

Pun ketika Dirut Pertamina, Widya Purnama, gigih dan tegas mengatakan Pertamina mampu mengelola dan menjadi operator Blok Cepu, namun setelah itu pada 08 Maret 2006 dia malah diganti oleh Arie Soemarno. Dan beberapa hari usai persetujuan Blok Cepu dikelola oleh ExxonMobil, Menlu AS, Condoleezza Rice, pada 14 Maret 2006 langsung berkunjung  ke Indonesia.

Dan tentunya, masih banyak lagi yang bisa dijadikan indikasi yang amat jelas, bahwa “Kapal Perahu” yang bernama Indonesia ini memang kelihatannya tenang berjalan, tetapi sesungguhnya perahu ini sedang menuju sebuah lubang pusaran yang sangat mengerikan. Karena “Nakhoda” perahu itu saat ini sangat diduga kuat sedang mengalami “bisul”. Kasihan.., demi keselamatan bersama, terutama bagi seluruh penumpangnya, maka “bisul nakhoda” itu harus segera diperiksa. SEKARANG!!!(map/ams)