Jakarta [RRonline]:
DALAM beberapa pekan terakhir khazanah Bahasa Indonesia seperti mengenal kosa kata ‘baru’, yaitu ‘Istana Hitam’. Kalau merujuk pada dongeng-dongeng karya HC Andersen, istana adalah sebentuk bangunan mewah dan megah tempat tinggal raja-ratu. Namun karena di belakang frase istana diikuti dengan kata ‘hitam’, maka asosiasi orang pun dengan sendirinya akan berkelana pada hal-hal yang bersifat buruk, bahkan jahat!
Adalah Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli yang memopulerkan (kembali) kosa kata Istana Hitam jni. “Semua itu seperti sungai-sungai kecil yang masuk ke sungai besar. Muara sungai besar itu akhirnya adalah ‘Istana Hitam’,” ujarnya dalam beberapa kesempatan merujuk pada mulai terbongkarnya skandal kartel di perdagangan komoditas pangan dan mafia Migas.
Sepak terjang mafia Migas yang sangat merugikan rakyat dan negara tidak mungkin hadir tanpa dukungan kekuasaan. Mereka menikmati keuntungan sangat besar di atas penderitaan rakyat dan beban berat APBN. Tertangkapnya Kepala Satuan Kerja Pelaksana Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini hanyalah puncak gunung es. Selain Rudi banyak korupsi serupa yang jumlahnya jauh lebih besar dan meibatkan pejabat yang levelnya lebih tinggi. Karenanya ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk berani memberantas mafia Migas agar rakyat tidak membayar lebih mahal daripada seharusnya.
Menurut ekonom yang gigih dan konsisten mengusung ekonomi konstitusi ini, salah satu contoh benderangnya eksistensi dan praktik mafia Migas adalah proses pengadaan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Sebetulnya sangat tidak masuk akal Indonesia yang produksi minyaknya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, tapi harus menjualnya ke luar negeri melalui trader. Lucunya, nanti Petral di Singapura membeli kembali dari trader untuk kembali diimpor ke Indonesia. Permainan ini merupakan bagian dari the top of the iceberg. Mereka menaikkan harga yang disepakati dengan selisih US$2-4/barel lebih mahal dibandingkan harga pasar. Makanya mafia Migas ini bisa meraup untung sangat besar, sekitar US$1 milyar/tahun.
Data SKK Migas menyebutkan kebutuhan BBM dalam negeri saat ini ditaksir mencapai 1,3 juta kiloliter (KL). Padahal produksi BBM kurang dari 540.000 barel per hari (bph). Angka ini merupakan produksi minyak kita yang murni menjadi bagian pemerintah. Itu pun tidak semua jatah tersebut bisa diolah menjadi BBM di dalam negeri. Secara total, impor produk minyak yang diimpor Indonesia sekitar 900.000 bph.
‘Tidak masuk akal’ adalah pilihan kalimat yang pas untuk menggambarkan patgulipat di impor minyak/BBM negeri ini. Sebagai salah satu negara penghasil minyak (ingat, dulu bahkan pernah menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak/OPC), Indonesia ternyata mengimpor minyak dari Singapura yang tidak menghasilkan setetes pun minyak bumi.
Tapi kalau ditelusuri lebih lanjut, praktik culas ini ternyata jadi ‘masuk akal’. Asal tahu saja, 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan Migas dimiliki sederet perusahaan asing. Mereka antara lain Chevron, ExxonMobil, TOTAL, Shell, BP, CNOC, dan lain-lain. Jangan kaget, perusahaan nasional hanya mengelola 14,6% saja. Itu pun sebagian besar perusahan lokal tersebut pemodalnya juga asing.
Prosedur pengadaan BBM yang sarat dengan patgulipat inilah yang dipersoalkan Rizal Ramli. Serunya lagi, praktik yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia ini telah berjalan teramat lama, puluhan tahun. Memang sempat terhenti sebentar di era Habibie dan Abdurrahman Wahid. Namun setelah keduanya, para tikus kembali berpesta-pora atas restu kucing-kucing yang tidak amanah.
AKUI ADA MAFIA
Syukurlah, walah sangat terlambat, akhirnya kesadaran untuk memperbaiki kesalahan datang juga. Angin segar itu datang dari Menteri ESDM Jero Wacik. Dia menyatakan SKK Migas akan menghapus proses tender minyak mentah dan kondesat bagian negara yang tidak dapat diserap Pertamina. Kelak, seluruh minyak mentah dan kondesat bagian negara akan diberikan kepada Pertamina. Perusahaan pelat merah ini nantinya akan mengelola minyak mentah dan kondesat dengan mekanisme tertentu. Selanjutnya terserah pertamina, apakah akan diatur sendiri, ditukar dengan minyak mentah lain supaya bisa diolah, atau dijual.
Wacik mengakui, mekanisme baru itu dapat meminimalkan potensi penyimpangan dalam proses tender minyak mentah di SKK Migas. Selain itu, mekanisme itu juga dapat mengoptimalkan pengolahan minyak mentah di dalam negeri, untuk mengurangi impor. Ehm, secara implisit pemerintah akhirnya mengakui memang ada mafia Migas dengan segala praktik kotornya.
Bagaimana solusinya? Sejak delapan tahun silam Rizal Ramli getol menyarankan agar Indonesia membangun lebih banyak kilang sendiri. Dengan adanya kilang di dalam negeri, pemerintah tidak perlu lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali setelah menjadi BBM. Dari sini banyak penghematan yang bisa diraup. Mulai dari ongkos transportasi pergi pulang minyak mentah-BBM, biaya asuransi, dan lainnya. Dia menghitung, sedikitnya akan mampu menekan biaya produksi dan pengadaan BBM hingga 20%. Dan, yang tidak kalah penting lagi, pembangunan kilang sendiri akan meminimalisasi eksistensi para mafia Migas berikut praktik-praktik tidak terpuji mereka.
Satu lagi, pembangunan kilang di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan impor BBM. Seiring dengan turunnya impor BBM, dengan sendirinya devisa yang terkuras pun jadi jauh berkurang. Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, selama Januari hingga Oktober 2011, nilai impor produk migas Indonesia mencapai US$33,604 miliar atau lebih dari Rp340 triliun. Angka ini naik drastis sebesar 53,99% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang US$21,822 miliar. Selama 3 bulan terakhir saja, cadangan devisa sudah berkurang –US$14,6 miliar. Angka ini melorot tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar
Tentu saja, angka-angka ini sangat berpengaruh pada fundamental ekonomi makro kita. Indonesia mengalami apa yang disebut Rizal Ramli dengan quatro-deficits sekaligus. Yaitu, Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada kuartal pertama 2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998.
Sayangnya, kendati sudah disampaikan sejak delapan tahun silam, pemerintah bagai menutup mata telinganya. Pemerintah tidak mau? Atau, mungkin lebih tepat disebut tidak berani? Memang ada banyak kepentingan yang akan terganggu jika pembangunan kilang minyak dilakukan.
Itulah sebabnya bak pujangga, Rizal Ramli mengatakan, “Ibarat ikan, yang busuk pasti dimulai dari kepalanya. Kalau mau membenahi industri migas nasional, harus berani membersihkan ‘kepala ikannya’ dulu.”
Pada titik ini, akhirnya ungkapan “sungai-sungai kecil yang masuk ke sungai besar. Muara sungai besar itu akhirnya adalah Istana Hitam” yang disampaikannya itu seperti menemukan kebenarannya. Kalau korupsi dan suap di sektor Migas hanyalah satu sungai kecil, tentu masih banyak sungai-sungai kecil lainnya. Publik diharapkan belum lupa dengan kasus suap kuota impor sapi. Begitu juga dengan dugaan kartel pada gula, kedelai, dan berbagai komoditas lain, bahkan garam! Semua itu adalah sungai-sungai kecil lainnya yang masuk ke sungai besar dan akhirnya bermuara ke istana hitam. Hmmm… (*)
-------------
Penulis adalah: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
-------------
Penulis adalah: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar