Selasa, 11 Maret 2014

Hanya Presiden “Berotak” Ekonomi yang Bisa Membuat Ekonomi Indonesia Jadi “Berotot”

[RR1online]:
HAMPIR 10 tahun pemerintahan SBY berlangsung, tetapi selama itu pula penanganan masalah ekonomi di negeri ini boleh dikata masih sangat memprihatinkan. Misalnya, ekonomi para petani kita yang kian hari makin nampak “terluka” akibat pemerintah yang lebih doyan melakukan impor terhadap seluruh komoditas pertanian. Sampai-sampai air  dan garam pun ikut diimpor oleh pemerintah. Sungguh menyedihkan..!!?!!

Juga dengan kekayaan alam pertambangan kita berupa migas, mineral, dan lain sejenisnya yang sejauh ini pula lebih diserahkan penguasaan pengelolaannya kepada pihak asing. Sampai-sampai hampir seluruh lembaga keuangan (bank) saat ini pun ikut dikuasai oleh pihak asing.

Sementara, rakyat Indonesia (sebagai tuan rumah) lebih banyak hanya dijadikan kuli dan bahkan babu di negeri sendiri. Sehingga jangan heran jika tak sedikit pula rakyat Indonesia kini lebih memilih menjadi “babu” di negeri orang sebagai TKI/TKW. Sungguh memilukan..!!??!!

Nilai Rupiah yang terus melemas, harga BBM yang dipaksakan naik di saat ekonomi rakyat belum mapan, membuat kemudian kenaikan harga-harga kebutuhan hidup pun makin mencekik leher dan perut rakyat.

Ke mana mengalir APBN yang jumlahnya hampir Rp.2.000 Triliun pertahun yang katanya adalah untuk rakyat itu..??? Sangat aneh, ketika rakyat tak henti-hentinya menjerit dan memohon agar pemerintah dapat segera mengambil langkah perbaikan ekonomi yang pro-rakyat, namun di saat bersamaan para pejabat malah sibuk memamerkan kemewahan: membangun rumah mewah, istri/suami dan anak-anak mereka masing-masing dibelikan mobil mewah, perhiasan mewah, pakaian mewah, hand-phone mewah, dan lain sebagainya. Apakah APBN/APBD selama ini memang hanya lebih banyak mengalir ke kantong para pejabat beserta para keluarganya, seperti yang terjadi di Banten…???

Sungguh pemerintahan yang berjalan selama hampir satu dekade ini hanya nampak berhasil membuka secara luas perbedaan status dan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, pribumi dan pihak asing, juga antara kelompok elit dan kelompok “liliput”.

Masalahnya, bukan karena si miskin dan pribumi (rakyat Indonesia) tidak punya kemampuan melakukan upaya maksimal berupa daya berkreasi, berinovasi, maupun berprestasi dalam memperbaiki diri. Masalah ini sebetulnya lebih terletak pada nilai keseriusan pemerintah (sebagai pihak yang diberi amanah), yakni hanya nampak setengah hati atau tidak sungguh-sungguh memberi peluang selebar-lebarnya kepada si miskin, pribumi , dan kelompok liliput guna kemajuan ekonomi mereka (sebagai pemberi amanah).

Memang betul, pemerintah sudah melakukan langkah-langkah pemberdayaan. Tetapi langkah-langkah itu boleh dikata hanya sebatas “tambal menambal ban bocor” saja, sehingga ketika berputar dan berjalan lalu menginjak “batu kerikil” saja, ban itu pun kembali bocor.

Dari sisi politik, tambal-menambal ban bocor ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai upaya (strategi) untuk tetap memiskinkan orang miskin agar ketika Pemilu masih ada banyak orang miskin yang bisa “disuap” guna memberikan suaranya.

Artinya, upaya tambal ban ini sekaligus hanya bisa disebut sebagai sebuah strategi “sinterklas” dari para parpor penguasa (incumbent), terlebih ketika menghadapi Pemilu/Pemilukada. Tentu saja tujuannya agar dapat kembali menjadi pemenang. Dan strategi seperti ini biasanya hanya dilakukan oleh penguasa yang “berotak” politik.

Olehnya itu, rakyat harus segera bergegas “siuman” dan segera menyadari, bahwa masalah kita sesama rakyat selama ini sebetulnya adalah terletak pada kesulitan ekonomi yang belum bisa diatasi sampai saat ini oleh pemerintah. Sehingganya, dalam Pemilu 2014 ini, kita wajib melahirkan seorang Presiden yang “berotak” ekonomi (ahli ekonomi) agar dapat membuat ekonomi Rakyat Indonesia jadi “berotot”.

Jika ekonomi Indonesia bisa berotot, maka negara mana pun pasti akan sangat segan dan menghormati Indonesia. Tidak seperti sekarang, sudah rakyatnya banyak yang miskin, pejabatnya korupsi pula. Dan dalam kondisi seperti ini, negara sekecil mana pun akan memandang remeh dan rendah Indonesia. Intinya adalah otot-otot ekonomi harus segera bisa dibuat kekar.

Apabila ekonomi bangsa ini sudah kekar, maka perkara-perkara hukum dan politik tidak akan bisa diperjualbelikan lagi; para guru akan lebih giat mengajar dengan penghasilan yang memadai; petani dan nelayan akan bersemangat berproduksi secara melimpah karena nilai dan mata rantai pemasarannya telah jelas; para pelajar ketika tamat studi tak perlu lagi kuatir menjadi pengangguran atau TKI karena lapangan pekerjaan selalu terbuka luas di negeri sendiri; TNI dan Polri tak perlu repot lagi berhadapan dengan demonstran anarkis, atau cari-cari usaha “sampingan”.

Dan sekali lagi, postur ekonomi kita hanya bisa berotot jika Presiden kita mendatang adalah sosok yang berotak ekonomi. Yakni adalah sosok yang benar-benar memiliki pengalaman dan kemampuan di bidang penanganan pembangunan ekonomi, serta sosok yang punya rekam jejak memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat.

Dan dari semua sosok yang kini disebut-sebut akan maju bertarung dalam Pilpres 2014 ini, hanya ada satu sosok Capres yang benar-benar berotak ekonomi yang tak perlu lagi diragukan keahlian dan pemahamannya dalam hal mengangkat derajat dan martabat ekonomi bangsa, yakni adalah DR. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian, yang saat ini sebagai anggota penasehat ekonomi di badan dunia PBB.

Bukan masalah jika sampai saat ini Rizal Ramli tidak memiliki parpol. Justru dengan tidak berparpol, Rizal Ramli lebih layak dan pantas diberi dukungan penuh. Sebab dengan tidak berparpol, Rizal Ramli menunjukkan sebagai sosok yang benar-benar “murni lahir” dari rakyat, bukan dari parpol tertentu. Sehingga jika menjadi presiden (atau mungkin wakil presiden), maka Rizal Ramli tentunya lebih berpihak untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan parpol tertentu.

Jika hal ini disadari oleh rakyat dengan memilih Rizal Ramli sebagai sosok yang berotak ekonomi menjadi pemimpin di negeri ini, maka Indonesia diyakini akan menjadi negara digdaya karena memiliki ekonomi yang kekar dan berotot. Semoga Allah merestui dan mewujudkannya. Amin..!!!

Serahkan urusan atau masalah kepada ahlinya, jika tidak, maka tunggulah kehancuran. SALAM PERUBAHAN 2014…!!!
--------
Sumber: KOMPASIANA

Minggu, 02 Maret 2014

Jika Rizal Ramli Presiden/Wapres, Kesepakatan Pasar Bebas AEC akan Direvisi

[RR1online] :
AGAR Indonesia tidak menjadi pasar empuk produk dan jasa negara-negara ASEAN, Indonesia harus berani mengambil langkah negosiasi ulang terhadap kerjasama pasar bebas negara-negara ASEAN Economic Community (AEC).

Hal tersebut ditegaskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, DR. Rizal Ramli (RR1) pada acara Diskusi dan Seminar AEC 2015, yang bertajuk: “Peran Masyarakat dan Mahasiswa dalam Menghadapi Asean Economy Community 2015”, di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, Sabtu (1/3/2014).

Menurut RR1, Indonesia harus merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community-AEC (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). Pasalnya, kata RR1, tidak semua komoditas dan jasa kita mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN. Langkah ini harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

“Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar (sektor) lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan. Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan. Kalau jadi presiden, saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia,” urai Rizal Ramli yang kini menjadi Kandidat Capres terkuat di Konvensi Rakyat 2014.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini juga menerangkan, revisi skema kerjasama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi. “Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi ‘bulan-bulanan’ negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri,” ujar ekonom senior ini.

RR1 yang juga mantan Presiden Komisaris PT Semen Gresik ini menuturkan, bahwa yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah free trade (perdagangan bebas). Sebab, menurut RR1, membebaskan perdagangan antara negara berkembang dan maju, sama saja membiarkan (memaksakan) petinju seperti Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

“Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor,” tegas RR1 yang hingga kini tetap gigih memperjuangkan ekonomi konstitusi.

RR1 menunjuk sektor yang bisa dihadapi secara fight dan dibuka sebebas-bebasnya oleh Indonesia adalah di antaranya seperti sektor tekstil dan produk tekstil, serta sektor minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan kakao.
Sektor-sektor unggulan semacam itu, kata RR1, tentunya akan membuat Indonesia bisa disebut unggul dalam pasar bebas untuk kawasan ASEAN.

“Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja desain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian,” jelas RR1.

Hal lain yang dikemukakan RR1 yang juga mantan Menteri Keuangan itu adalah menyarankan, bahwa sebaiknya Indonesia tidak buru-buru meliberalisasi sektor keuangan. Bank-bank yang sepintas seperti kuat, ternyata meraih untung besar karena tingginya spread antara cost of money dengan suku bunga kredit. “Jika sektor keuangan dibebaskan, bisa dipastikan akan banyak menimbulkan masalah,” tutur RR1 yang saat menjabat menteri sempat berhasil menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa mengeluarkan uang negara serupiah pun.

-----
Sumber: KOMPASIANA