[RR1-online]
PENASEHAT Ekonomi PBB yang juga Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, DR. Rizal Ramli, mengajak rakyat Indonesia menolak rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, katanya, ada banyak cara yang bisa ditempuh pemerintah guna menyelamatkan APBN tanpa harus menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan makin menyusahkan kehidupan rakyat.
PENASEHAT Ekonomi PBB yang juga Mantan Menteri Koordinator Perekonomian, DR. Rizal Ramli, mengajak rakyat Indonesia menolak rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, katanya, ada banyak cara yang bisa ditempuh pemerintah guna menyelamatkan APBN tanpa harus menaikkan harga BBM yang sudah pasti akan makin menyusahkan kehidupan rakyat.
Dikatakannya, jika kebijakan dan langkah dalam bidang listrik dan energi yang salah, maka jangan rakyat yang harus menanggungnya! “Tolong belajar kepemimpinan dari DanJen Kopasus. Mari kita tolak kenaikan BBM, kecuali SBY berani sikat mafia migas yang suka setor ke Istana Hitam, dan segera bangun Kilang BBM dalam dua tahun,” tulis Rizal Ramli (RR) dalam kultwit beralamat @chirpstory, Selasa (9/4/2013).
Mantan Menteri Keuangan ini juga menegaskan, salah satu langkah yang harus dilakukan pemerintah sebelum menaikkan harga BBM adalah menyikat mafia migas yang selama ini membuat biaya BBM tinggi. Sebab, para mafia migas ini mengerut banyak sekali keuntungan dari bisnis migas yang tidak transparan.
Rizal Ramli mengingatkan, bahwa sekitar 63 juta pengguna sepeda motor yang jelas-jelas rakyat menengah bawah adalah pemakai BBM. Sehingga itulah, katanya, mafia migas harus diberantas.
Rizal Ramli yang juga selaku tokoh pergerakan perubahan ini mengungkapkan, bahwa di kalangan bisnis migas, dikenal Mr two dollar. Mereka memperoleh fee sedikitnya US$2/barel dari minyak mentah (400.000 barel/hari) dan minyak jadi yang diimpor (500.000 barrel). “Fee US$2/barel ini ketika harga minyak masih sekitar US$ 60/barel,” ujar Rizal Ramli yang juga Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP) ini.
Disebutkannya, kini setelah harga BBM di atas US$ 90/barel, maka sudah pasti fee (keuntungannya) pun lebih besar. “Mereka bisa mengantongi keuntungan nyaris Rp 10 trilliun dari impor BBM. Jadi, sikat dulu mafia migas, sebelum bicara kenaikan harga BBM,” tegas Rizal Ramli seraya menambahkan bahwa kelakuan mafia migas ini sudah jadi bisik-bisik nasional.
Bukan hanya DR. Rizal Ramli, sejumlah tokoh lain juga sering menyinggung masalah ini. Sebut saja pakar perminyakan DR. Kurtubi yang juga ikut mengecam dominasi mafia migas yang membuat harga BBM di dalam negeri jadi tinggi. Bahkan Tempo.com pernah menulis mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin menyerahkan US$5 juta kepada Ani Yudhoyono yang disebutnya sebagai setoran dari Pertamina.
Sehingga terkait dengan soal ini, Rizal Ramli pun tak salah jika harus mempertanyakan moralitas mereka yang berencana menaikkan harga BBM, tapi secara diam-diam menerima setoran dari mafia migas.
Diungkapkannya, di sinilah defi-nisi "subsidi" harga BBM sering salah dipahami. Sebagian besar dari yang disebut "subsidi energi", pada da-sarnya adalah subsidi terhadap KKN dalam industri migas, inefisiensi dan salah kebijakan.
“Sejak delapan tahun lalu, saya berulang-ulang menyarankan agar segera membangun kilang (refinery) BBM. Langkah ini akan menurunkan biaya produksi BBM. Dengan kilang baru, kita bisa menghemat biaya transportasi dan asuransi mengangkut minyak mentah ke Singapura dan impor BBM jadi, dan tak perlu memberi keuntungan kepada kilang dan pajak di luar negeri,” lontar calon presiden (capres) alternatif yang sangat layak dipilih 2014 versi The President Center ini.
Dijelaskannya, kalau pun kita harus mengimpor migas, seharusnya Pertamina bisa mengimpor langsung tanpa melalui mafia. “Tapi langkah ini tidak dilakukan, karena akan merugikan para mafia migas. Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak berani menyikat mafia migas karena Istana Hitam terus menerima setoran dari mereka?” tukas Rizal Ramli.
Masalah utama lainnya seputar migas, katanya, adalah produksi yang terus-menerus turun. Di sisi lain, cost recovery-nya justru naik terus. Padahal, dulu lifting minyak Indonesia pernah mencapai 1,5 juta barel per hari. Kini, produksi itu hanya berkisar di 900.000 barel per hari.
Tentu ada yang tidak beres di sini. DR.Kurtubi bahkan menyebut kebijakan perminyakan Indonesia sebagai yang terburuk di Asia Pasifik. Padahal cadangan minyak Indonesia masih besar. Jika produksi mampu dinaikkan, tentu impor akan mampu pula ditekan hingga di tingkat minimal.>nt/ams
Tidak ada komentar:
Posting Komentar